Kamis, 18 Desember 2014


Eksotisme tanah Hindustan sudah saya ketahui jauh-jauh hari sebelum terbang ke Delhi. Saat mengurus Visa di Kedutaan Besar India di Jakarta, saya mendapat beberapa majalah pariwisata India, dan most visit places di beberapa provinsi yang berbeda. India memang kaya dengan tempat wisata yang tersebar dari utara dan selatan. Ide berkunjung ke Manali (Himachal Pradesh) muncul ketika kawan-kawan mahasiswa di Delhi menawarkan untuk pergi ke bagian utara India sekedar melihat rangkaian Pegunungan Himalaya, dan tentu saja, bermain salju. Ide yang sangat menyenangkan, terlebih karena saya dan empat teman saya yang sama-sama baru satu bulan di India memutuskan untuk backpacking jorney.

Saya dan empat teman saya tinggal di provinsi yang berbeda. Kami memutuskan untuk bertemu di Delhi. Tiga teman saya memulai perjalanannya dari Baroda (Gujarat) dan saya bersama salah seorang teman memulai perjalanan dari Jaipur (Rajasthan). Perjalanan dari Jaipur ke Delhi yang seharusnya hanya perlu lima jam harus kami tempuh enam jam karena kondisi jalan penghubung dua kota itu sedang dalam pembangunan. Bus kami berhenti di Bikaneer House, terminal pemberhentian khusus untuk bus dari Rajasthan. Akses bus dari dan ke Jaipur memang terbilang mudah, mengingat Jaipur adalah salah satu kota tujuan wisata di India. Perjalanan berikutnya akan kami mulai pada pukul 20.45 waktu setempat dengan angkutan paling murah untuk perjalanan lima belas jam menuju Manali. Setiap orang membayar Rs 500,00 (setara dengan Rp 112500,00). Awalnya saya shock, bus yang kawan-kawan Indonesia di India sebut sebagai bus kambing itu tampilannya memang tidak meyakinkan. Seperti halnya bus tua, jarak antara bangku kiri dan kanan sangat sempit, lorongnya hanya bisa dilalui orang satu per satu. Tapi saya tidak menyangsikan kebolehannya menjelajah rute panjang Delhi-Manali, anggap saja semakin tua semakin banyak pengalamannya. Bus kami malam itu membawa muatan penuh. Lampu warna kuning yang menerangi bus seolah mewakili kesederhanaan perjalanan lima mahasiswa Indonesia dengan kocek yang juga ‘sederhana’. Ramainya orang bercakap-cakap di dalam bus hanya bertahan beberapa jam, setelah itu suasana berangsur-angsur hening, semua orang tertidur.

Setelah tiga jam perjalanan, kami sampai di Chandigarh (Punjab). Semakin ke utara, udara semakin dingin. Saya pikir, bus tidak akan sering-sering berhenti, tak tahunya malam itu bus berhenti berkali-kali, untuk minum cay (teh susu khas India), driver shift, dan kebutuhan kamar mandi. Pukul dua pagi, bus mulai melewati medan berkelok-kelok, entah di daerah mana. Saya hanya menebak-nebak, bus mungkin sudah masuk provinsi Himachal Pradesh. Di luar sangat gelap dan lampu di dalam bus dimatikan. Saya memilih membungkus kaki saya ke dalam sepatu dan menyimpan tangan saya ke dalam saku jaket, hawa dingin semakin terasa, dan saya mulai mengantuk. Matahari belum terlihat saat saya terbangun pukul lima pagi, tanggal 27 Februari 2011. Kondektur bilang, bus akan sampai Manali pukul dua belas siang. Saya menghela napas, membayangkan harus tetap di dalam bus ini sampai tengah hari nanti. Pagi hari bus kami berhenti di Mandi. Perut saya sudah keroncongan, namun kami sepakat untuk tidak makan dulu sebelum sampai Manali, demi menghemat pengeluaran. Kami sudah mulai melihat puncak-puncak gunung yang diselimuti salju setelah meninggalkan Mandi. Bus kami sekali lagi berhenti di Kulu, dan itu menjadi pemberhentian terakhir sebelum mencapai Manali. Saya sudah tidak sabar, ingin cepat sampai dan makan karena kelaparan berat. Perjalanan semakin menyenangkan karena pemandangan tebing dan Pegunungan Himalaya sangat eksotis. Sepanjang jalan kami melihat sungai berbatu dan pohon-pohon yang masih meranggas karena musim dingin. Satu jam sebelum mencapai Manali, kami melewati terowongan gelap dan panjang yang diterangi lampu-lampu kuning di kiri-kanannya. Akhirnya pukul 12.30 waktu setempat, kami sampai di Manali.

Setelah mengisi perut, kami segera mencari penginapan. Kami hanya ingin menyewa satu kamar untuk lima orang. Beberapa orang menawarkan harga kamar yang cukup miring, namun kami belum mau menyerah, kami ingin mencari harga kamar paling murah yang bisa kami sewa. Akhirnya berkat kesabaran salah satu teman mencari informasi, kami mendapat satu kamar dengan harga sewa setara Rp 28.000,00 per orang untuk empat hari sewa. Kami tidur berdesak-desakan di tempat tidur double bad dengan sembilan selimut yang diberikan pemilik penginapan. Malam itu kami tutup dengan makan malam mie instan setelah gagal menemukan restoran yang buka di malam hari di sekitar tempat kami menginap.
Pagi hari tanggal 28 Februari 2011, langit berawan dan cuaca tidak sedingin yang saya bayangkan. Pemilik penginapan mengatakan, semakin berawan langit, udara justru semakin hangat; dan sebaliknya, ketika langit cerah, udara menjadi sangat dingin. Kami menyewa mobil untuk mencapai play ground di Solang Valley. Dengan menyewa mobil seharga Rs 600,00, saya dan teman-teman dapat mencapai lembah yang berjarak dua kilometer dari penginapan. Setelah menyewa sepatu boots dan baju seharga Rs 150,00 kami siap beraksi di atas salju. Wahana permainan yang tersedia sangat banyak, sebagaimana daerah wisata bersalju kebanyakan. Saya sangat tertarik mencoba paragliding. Dengan membayar Rs 500,00 , saya berkesempatan untuk terbang kurang dari lima menit di atas lembah. Perjalanan mendaki ke start spot sangat melelahkan. Saya yang tidak terbiasa mendaki harus berhenti berkali-kali sebelum akhirnya sampai. Berbeda sekali dengan pilot yang membawa saya terbang. Dengan membawa parasut di punggungnya, dia mendaki sambil berlari dan bilang “Joldi chalo!” kepada saya, yang artinya menyuruh saya berjalan lebih cepat. Wajar saja, saya bisa membayangkan dia belasan kali naik turun bukit sebagai konsekuensi pekerjaannya. Meskipun hanya beberapa saat, pengalaman paragliding di Solang Valley sangat menyenangkan. Saya tidak ingin mencoba wahana lainnya karena uang saya semakin menipis. Berikutnya, saya menghabiskan waktu bersama teman-teman senasib saya membuat boneka salju yang saya dandani mirip rapper, berguling-guling di atas salju, dan mengabadikan momen-momen di Solang Valley bersama teman-teman hebat saya.

Kami memutuskan naik bus kelas bisnis menuju Delhi. Sedikit mangkel ternyata harga tiketnya cuma beda Rs 50,00 dari harga bus kambing. Saya senang karena bisa tidur dengan nyaman, dengan seat yang lebih empuk dan suara mesin yang tidak menderu-deru dengan keras. Tidak disangka, kami berlima malah mabuk perjalanan. Saya bahkan harus minum obat masuk angin dua kali. Perut rasanya diaduk-aduk dan kepala pusing luar biasa. Sopir bus mengendarai busnya dengan ugal-ugalan di jalan berkelok-kelok Manali menjuju Chandigarh. Saya kemudian berpikir, memang lebih baik naik bus jelek yang jalannya mau tidak mau harus pelan-pelan, daripada naik bus yang mesinnya lebih bagus, tapi bikin sopir khilaf mengendarainya dengan keut-kebutan. Hasilnya, perjalanan Manali-Delhi dapat kami tempuh dalam waktu 13 jam. Dua jam lebih singkat dari waktu keberangkatan kami menuju Manali.

Overall, saya benar-benar merasakan pengalaman hebat karena berhasil menjelajah provinsi di wilayah utara India dengan harga sangat murah. Semoga cerita nekad saya dan teman-teman dapat menginspirasi pembaca rubrik for her untuk menjelajah tempat-tempat eksotis suatu hari nanti. Dan terima kasih untuk pelajar-pelajar Indonesia di Delhi yang telah merekomendasikan Manali untuk petualangan saya yang sangat singkat di India.

PS:
Rs 1,00 = Rp 225,00

Diterbitkan di Jawa Pos, Kamis, 5 Mei 2011

1 komentar: