First visit to Nabawi Mosque |
Rabu, 17 Februari 2016
Minggu, 18 Oktober 2015
Perhatikan sekitar kita, Tuhan sering kali menyampaikan pesan implisit yang dititipkan entah kepada makhluk lain atau peristiwa.
Sebuah perayaan hari jadi berlangsung di Universitas Surya Tangerang. Saya hadir karena ditugasi meliput murid yang menerima beasiswa JPNN dari Pak Dahlan Iskan.
Saya kesana tanpa camera man. Seorang diri hanya ditemani sopir dan saya saat itu, sampai sekarang belum bisa multitasking sebagai VJ, mewawancara dan mengoperasikan kamera.
Disitulah pertama kali saya bertemu Ibu Siti Rahmi Utami. Seorang Dekan Fakultas Sosial dan Ekonomi. Saya tipe orang kagetan, yang gampang takjub dengan penampilan seseorang. Begitu juga saat bertemu ibu satu ini, awalnya saya memperhatikan kekurangan fisiknya. Berkursi roda. Kondisinya tidak memungkinkan semua hal ia kerjakan dengan mandiri.
Perspektif saya sirna seketika saat Ibu Tanti, seorang dosen komunikasi yang saya kenal di sana bercerita, disertasi yang dibuat mengantarkan Ibu Siti mendapat gelar best student saat bersekolah di Maastricht School of Management. Penghargaan diserahkan langsung oleh Queen Maxima.
"Saya takut salah omong dikira sombong, Mbak. Wawancara saya tadi tidak terkesan sombong kan?" begitulah. Kerendahan hatinya membuatnya hati - hati sekali bicara soal prestasi.
"Lulus doktor itu sulit sekali Mbak. Jadi saya tidak berharap best student waktu itu. Saya hanya berharap lulus doktor saja sudah cukup. Nggak perlu yang lain - lain."
Dorongan dari keluarga, membuat Ibu Siti semangat bersekolah. Beliau menyadari dengan pendidikan orang berkursi roda sepertinya akan lebih bermanfaat kepada orang banyak. Melalui ilmu dan penelitian.
Secara pribadi, beliau menorehkan hikmah begitu mendalam. Bahwa apapun yang dipelajari harus dilakukan dengan sungguh - sungguh. Kekurangan fisik bukan hambatan. Pola pikir kita dalam melihat sesuatu lah, yang kerap menjadi dinding penghalang kita menuju akses pengetahuan baru.
Jumat, 16 Oktober 2015
Di antara anjing - anjing di Rumah Penampungan Hewan |
Pitbull |
Belajar menyayangi dari mereka |
Selasa, 13 Oktober 2015
Mati suri entah keberapa kali.
Aku pikir menjadi wartawan akan memeriku banyak ruang untuk terus menulis di blog. Sebelumnya aku berbangga hati bisa ajeg menulis setiap bulan. Tapi ternyata tidak! Setiap hari turun ke lapangan membuat prioritas bergeser jauh.
Hari ini, aku mendapat spirit supply dari salah satu produser. "Kamu kalau suka menulis harus dijaga. Biar tetap berkembang dan nggak lupa rasanya."
Aku harap, aku akan lebih beruntung untuk tidak melupakan rasa yang pernah ada... :D
Aku juga ingin ucapkan Selamat Tahun Baru Islam bagi saudara muslimin muslimat di manapun berada. Semoga kita menjadi umat yang lebih baik. Bertuhan tanpa mengafirkan yang lain. Berbuat baik tanpa memburukkan yang lain. Mengasihi dan tidak memusuhi. Jangan lupa rasanya... mencintai agama dengan rendah hati.
Selasa, 21 Juli 2015
Jumat, 19 Juni 2015
Kalau kata Sujiwo Tedjo, aku ini utang rasa, sama mbah2 sepuh yang jual nasi pecel di deket kos.
Puasa tahun lalu, beliau meletakkan racikan pecelnya: sayur rebus, mie, kering tempe, sambal, dan kerupuk di tempat seadanya. Sebutlah jorok, karena memang begitu. Rebusan sayurnya biasanya tanpa sengaja ada ekstrak rambut sehelai di antaranya. Hecinya tak berbentuk, malah wujudnya mirip adonan tepung dipaksa masuk penggorengan. Tapi jangan salah, rasanya enak. Peyeknya hancur, tapi enak juga. Aku yakin dulu dia jago soal masak - memasak.
Duduk diam menanti pembeli sambil ngantuk - ngantuk. Fisiknya sendiri sudah kelihatan nggak capable buat gerak cepat. Perawakan beliau kecil, agak membungkuk, dan wajahnya kuyu. Aku yakin pembeli yang ke situ, kalau nggak malas jalan jauh ke warung lain, ya iba sama beliau. Aku golongan yang disebut belakangan, dengan beberapa persen faktor yang disebut pertama.
"Beli apa, Dik?" sapanya dengan suara berat, sambil tangannya meraih kertas minyak, saking tidak fleksibelnya, kertasnya lecek. Kadang diambilnya sambil dibumbui sapuan tangan ke lidah dahulu. Megang sendoknya kaku. Nggak jarang lauknya kececeran. Karena tangannya gemetaran. Beliau menyendok racikan pecel satu demi satu dengan susah payah. Wah, luar biasa rasanya, haru biru kalau nonton effort-nya. Sementara yang mengantri di belakang dengan penuh sabar menunggu Si Mbah menyelesaikan tugasnya. Bagus kan, buat melatih kesabaran.
"Berapa Mbah Ti?"
Beliau diam sejenak. Lalu menyebut nominal yang nggak masuk akal murahnya. Surabaya hari gini, dia jual nasi pecelnya Rp 3,500,00. Sudah isi heci sama peyrk. Kalau aku paksa - paksain beli peyeknya seplastik pun, atau upgrade lauk ke telur kecap, paling banter Rp 5,000,00. Wah, ini alasan ketiga orang mau beli di warung beliau, murah...
Dua kali, beliau pernah spontan cerita. Kalau anaknya kerja di Sumatra, lalu satunya di Telkom. Aku nggak menduga - duga namun sepertinya, beliau tetap jualan karena memang itu sudah pekerjaannya sejak lama. Aku positive thinking pasti anaknya menafkahi beliau juga. Aku nggak tahu sudah sejak kapan. Namun, puasa tahun ini, warungnya sudah dikelola salah satu anaknya.
"Monggo," Si Mbah tetap di situ kok, menunggui tanpa sedikitpun mengganggu anaknya melayani pelanggan. Nggak power syndrome deh bahasa ribetnya. Si Ibu, anak Si Mbah, ramah wajahnya, jualan dengan lebih set set settt, bersih, dan dengan servis yang upgrade begini, sudah tentu harganya bersaing dengan warung - warung lain.
Ada rasa nyess, setiap ingat Si Mbah dulu. Figurnya waktu jualan, waktu menumpahkan racikan, waktu mengambil kertas. Sepuh begitu masih ikhtiar kepada Tuhan, ikrar cari nafkah tanpa ngemis. Yang muda begini kalau letoy ya perlu dijambak ya.
Overall matur suwun Mbah. Semoga panjang umur. Si Mbah sudah mengajari aku arti ngeyel yang sebenarnya. Moga berkah, disayang Allah hidup saat ini dan hidup berikutnya.
Rabu, 20 Mei 2015
Iklan prostitusi |
Berkabut tipis sore itu |
Bukan Perjuangan |
Hyatt the Bund, hotelku kecil di sebelahnya |
Sore itu |