Cukup kesal ketika sebuah keputusan terlontar dari suasana hati
yang panas, kepala yang tertahan kejernihannya, dan kondisi tubuh yang
kelelahan. Mungkin hanya itu satu - satunya yang saya sesalkan dari tidak
hadirnya my beloved Tika ke rencana trip kami ke Kanchanaburi. But, that's fine. She decided, we
accept...
Sebuah wilayah di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Maksud
saya, sisi geografis Myanmar yang ngelewer panjang di bagian barat Thailand. Saya menjernihkan pikiran saya
yang setengah sadar karena mengantuk di taxi menuju Khaosan Road. Saya, Fandi,
dan si pinoy cantik Ara bersama beberapa teman
yang lain yang sudah di sana akan bersama - sama dalam satu perjalanan ke Kanchanaburi.
Hanya dua jam perjalanan, bersama seorang driver yang ramah meski Bahasa Inggrisnya
pas - pasan. Beliau berusaha ngobrol dengan tamunya, dan entah mengapa sangat
bahagia karena membawa lima belas tamu. Maaf ya Pak, hanya empat belas tamu.
Satu kursi kosong. Tidak beruntungkah karena angka empat belas itu nantinya?
Saya sebutkan bahwa Bangkok panas sekali. Jangan tanya bagaimana Kanchanaburi
membakar setiap senti kulit di tubuh yang terlahir tanned ini. Panas banget! Baru jam
sepuluh, udara yang masuk ke tenggorokan terasa panas mendidih. Lebih - lebih
kondisi rongga mulut yang meradang, membuat saya semakin tidak nyaman bahkan
hanya untuk bernafas dan menelan air minum. Tapi mari kesampingkan semua ini.
Kembali pada maksud awal kemari, bersama - sama Fandi ke luar kota menikmati
sisi barat Thailand. Biar
saja angin panas menerpa wajah hingga kusam. Cuek saja dengan bau keringat yang
bercampur di dalam van. Saya percaya Kanchanaburi akan membayar semuanya.
![]() |
http://www.kittiraftkanchanaburi.com/images/main_1215677467/Kanchanaburi_Map.jpg |
Cerita sedikit tentang Provinsi
Kanchanaburi yang akan saya kunjungi, merupakan provinsi terbesar ketiga di
Thailand. Ia juga merupakan salah satu wilayah Thailand yang berbatasan
langsung dengan Myanmar. Kanchanaburi yang panas, menawarkan hamparan hijau
gunung dan bukit. Sedikit ironis, ribuan pohon dan tumbuhan di sini gagal
menepis hawa panas di lingkungannya. Ia juga menjadi saksi Perang Dunia II,
ketika Jepang pada tahun 1942 sempat menduduki wilayah itu dan membangun jalur
kereta api Thailand – Myanmar yang menewaskan ratusan ribu pekerja yang dikerahkan untuk menyelesaikan rel tersebut demi kepentingan perang. Kurang
lebih sama dengan kisah penderitaan perang lainnya di belahan bumi Tuhan ini.
Destinasi pertama adalah taman makam pahlawan, War Cemeteries of Kanchanaburi. Saya tinggal di
Surabaya yang juga disebut sebagai kota pahlawan. Hanya saja saya tidak pernah
punya keinginan untuk berlibur ke pemakaman. Ya, memang Kanchanaburi adalah
salah satu kota sejarah Perang Dunia II. Thailand tidak pernah benar - benar
diduduki oleh negara manapun, hanya saja tetap mengalami dampak dari perang
tersebut pada tahun 1942 – 1943 ketika Jepang menjadikan wilayah itu sebagai
basis penghubung Thailand - Myanmar. Tentara yang dimakamkan di sini rata – rata adalah
tentara asing. Saya tidak peduli kebangsaan mereka, namun ada perasaan ngilu
menyeruak di dada ketika membaca usia meninggalnya mereka di papan nisan. Dua
puluh tahun, sembilan belas tahun, pernahkah mereka menyesal tewas di
peperangan atas nama membela tanah air? Atau, mungkin seperti kata Sujiwo Tejo dalam bukunya, Lupa Endonesa Deui: mereka yang mati dalam peperangan adalah mereka yang tahu membalas budi pada tanah airnya.
![]() |
War Cemeteries of Kanchanaburi |
Dalam perjalanan, kami dipandu oleh seorang wanita dengan aksen kental khas Thailand, dia mengaku asli Kanchanaburi. Dia cukup serius selama membimbing perjalanan kami. Keseriusannya sedikit rusak ketika saya tidak tahan menertawakannya, karena menukar kata interest menjadi internet. "If you internet to go to elephant's bathing; pay 500 Bath. If you don't internet, that's okay." Dan, seorang turis Indonesia bernama Dianti sedang tertawa terbahak - bahak di dalam hati.
Tujuan berikutnya adalah Death
Railway dan JEATH War Museum. Letaknya berada dalam satu komplek. Dari musium, saya bisa menengok ke arah Maeklong River dan Death Railway tampak jelas dari situ. Biasanya disebut dengan Bridge of River Kwai. Sekilas tentang jalur kereta api Thailand - Myanmar ini, dibangun sejak tahun 1942 dengan deadline selesai pembangunan bulan Agustus 1943. Jalur ini akan dipergunakan Jepang membawa ribuan ton logistik dari Thailand ke Myanmar dan sebaliknya. Demi menyelesaikan jalur sepanjang 250 mil tersebut, lebih dari enam belas ribu tahanan perang dikerahkan, seratus ribu buruh dipekerjakan dari keturunan Cina, India Selatan, Malaysia, Myanmar, Jepang, Hindia Belanda, dan Eurasia. Bahkan antara tahun 1942 - 1945, tiga puluh ribu tahanan perang dari Inggris, delapan belas ribu tahanan perang dari Belanda, tiga belas ribu tahanan perang dari Australia, dan tujuh ratus tahanan perang dari Amerika dipindahkan dari Indonesia ke Thailand dan Myanmar untuk menyelesaikan proyek tersebut.
![]() |
Bridge of River Kwai dari JEATH Museum |
Cuaca panas mengerikan di atas jembatan kereta api. Sebenarnya kami bisa melintasi jalur tersebut seperti di Ambarawa. Hanya saja, waktu kunjung kelompok saya habis. Kami kembali ke van menuju destinasi berikutnya. Saya juga tidak tahan dengan angin panas yang semakin parah mendekati pukul dua belas siang.

![]() |
Thakilen Railway Station |
![]() |
Special Ticket Price Service |
![]() |
Certificate for Special Ticket Price |
Guider kami muncul dari gerbong lain. Dia menyebutkan setelah ini akan ada pemandangan menarik, yaitu ketika kereta melewati jembatan dan berjalan pelan - pelan. Beberapa menit kemudian kereta pun mulai memperlambat lajunya. Dan, inilah yang dibayarkan Kanchanaburi kepada kami:
![]() |
Green heaven around the train track |
[3]
Halo mau nanya hehe, kalo masih inget ini pake tour apa ya? terus harganya berapa? terimakasih banyakkk :)
BalasHapus