Minggu, 18 Mei 2014

Cukup kesal ketika sebuah keputusan terlontar dari suasana hati yang panas, kepala yang tertahan kejernihannya, dan kondisi tubuh yang kelelahan. Mungkin hanya itu satu - satunya yang saya sesalkan dari tidak hadirnya my beloved Tika ke rencana trip kami ke Kanchanaburi. But, that's fine. She decided, we accept...

Sebuah wilayah di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Maksud saya, sisi geografis Myanmar yang ngelewer panjang di bagian barat Thailand. Saya menjernihkan pikiran saya yang setengah sadar karena mengantuk di taxi menuju Khaosan Road. Saya, Fandi, dan si pinoy cantik Ara bersama beberapa teman yang lain yang sudah di sana akan bersama - sama dalam satu perjalanan ke Kanchanaburi. Hanya dua jam perjalanan, bersama seorang driver yang ramah meski Bahasa Inggrisnya pas - pasan. Beliau berusaha ngobrol dengan tamunya, dan entah mengapa sangat bahagia karena membawa lima belas tamu. Maaf ya Pak, hanya empat belas tamu. Satu kursi kosong. Tidak beruntungkah karena angka empat belas itu nantinya?

Saya sebutkan bahwa Bangkok panas sekali. Jangan tanya bagaimana Kanchanaburi membakar setiap senti kulit di tubuh yang terlahir tanned ini. Panas banget! Baru jam sepuluh, udara yang masuk ke tenggorokan terasa panas mendidih. Lebih - lebih kondisi rongga mulut yang meradang, membuat saya semakin tidak nyaman bahkan hanya untuk bernafas dan menelan air minum. Tapi mari kesampingkan semua ini. Kembali pada maksud awal kemari, bersama - sama Fandi ke luar kota menikmati sisi barat Thailand. Biar saja angin panas menerpa wajah hingga kusam. Cuek saja dengan bau keringat yang bercampur di dalam van. Saya percaya Kanchanaburi akan membayar semuanya.

http://www.kittiraftkanchanaburi.com/images/main_1215677467/Kanchanaburi_Map.jpg

Cerita sedikit tentang Provinsi Kanchanaburi yang akan saya kunjungi, merupakan provinsi terbesar ketiga di Thailand. Ia juga merupakan salah satu wilayah Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Kanchanaburi yang panas, menawarkan hamparan hijau gunung dan bukit. Sedikit ironis, ribuan pohon dan tumbuhan di sini gagal menepis hawa panas di lingkungannya. Ia juga menjadi saksi Perang Dunia II, ketika Jepang pada tahun 1942 sempat menduduki wilayah itu dan membangun jalur kereta api Thailand – Myanmar yang menewaskan ratusan ribu pekerja yang dikerahkan untuk menyelesaikan rel tersebut demi kepentingan perang. Kurang lebih sama dengan kisah penderitaan perang lainnya di belahan bumi Tuhan ini.

Destinasi pertama adalah taman makam pahlawan, War Cemeteries of Kanchanaburi. Saya tinggal di Surabaya yang juga disebut sebagai kota pahlawan. Hanya saja saya tidak pernah punya keinginan untuk berlibur ke pemakaman. Ya, memang Kanchanaburi adalah salah satu kota sejarah Perang Dunia II. Thailand tidak pernah benar - benar diduduki oleh negara manapun, hanya saja tetap mengalami dampak dari perang tersebut pada tahun 1942 – 1943 ketika Jepang menjadikan wilayah itu sebagai basis penghubung Thailand - Myanmar. Tentara yang dimakamkan di sini rata – rata adalah tentara asing. Saya tidak peduli kebangsaan mereka, namun ada perasaan ngilu menyeruak di dada ketika membaca usia meninggalnya mereka di papan nisan. Dua puluh tahun, sembilan belas tahun, pernahkah mereka menyesal tewas di peperangan atas nama membela tanah air? Atau,  mungkin seperti kata Sujiwo Tejo dalam bukunya, Lupa Endonesa Deui: mereka yang mati dalam peperangan adalah mereka yang tahu membalas budi pada tanah airnya.

War Cemeteries of Kanchanaburi


Dalam perjalanan, kami dipandu oleh seorang wanita dengan aksen kental khas Thailand, dia mengaku asli Kanchanaburi. Dia cukup serius selama membimbing perjalanan kami. Keseriusannya sedikit rusak ketika saya tidak tahan menertawakannya, karena menukar kata interest menjadi internet. "If you internet to go to elephant's bathing; pay 500 Bath. If you don't internet, that's okay." Dan, seorang turis Indonesia bernama Dianti sedang tertawa terbahak - bahak di dalam hati.

Tujuan berikutnya adalah Death Railway dan JEATH War Museum. Letaknya berada dalam satu komplek. Dari musium, saya bisa menengok ke arah Maeklong River dan Death Railway tampak jelas dari situ. Biasanya disebut dengan Bridge of River Kwai. Sekilas tentang jalur kereta api Thailand - Myanmar ini, dibangun sejak tahun 1942 dengan deadline selesai pembangunan bulan Agustus 1943. Jalur ini akan dipergunakan Jepang membawa ribuan ton logistik dari Thailand ke Myanmar dan sebaliknya. Demi menyelesaikan jalur sepanjang 250 mil tersebut, lebih dari enam belas ribu tahanan perang dikerahkan, seratus ribu buruh dipekerjakan dari keturunan Cina, India Selatan, Malaysia, Myanmar, Jepang, Hindia Belanda, dan Eurasia. Bahkan antara tahun 1942 - 1945, tiga puluh ribu tahanan perang dari Inggris, delapan belas ribu tahanan perang dari Belanda, tiga belas ribu tahanan perang dari Australia, dan tujuh ratus tahanan perang dari Amerika dipindahkan dari Indonesia ke Thailand dan Myanmar untuk menyelesaikan proyek tersebut.

Bridge of River Kwai dari JEATH Museum

Musium itu sepi, mungkin karena saya datang saat week days. Seperti halnya musium perang, dengan peninggalan sejarahnya, setiap ruangan terasa creepy. Ada aura sedih yang membuat saya sungkan berlama - lama di sana. Saya paling tidak tahan memperhatikan gerbong tua yang diletakkan di taman tepat di tengah bangunan. Di dalam gerbong itu terdapat patung dengan raut wajah sengsara. Saya tidak mendokumentasikannya, takut terbayang - bayang.


Cuaca panas mengerikan di atas jembatan kereta api. Sebenarnya kami bisa melintasi jalur tersebut seperti di Ambarawa. Hanya saja, waktu kunjung kelompok saya habis. Kami kembali ke van menuju destinasi berikutnya. Saya juga tidak tahan dengan angin panas yang semakin parah mendekati pukul dua belas siang.

Kami dibawa ke sebuah stasiun kecil disebut Thakilen. Akan ada kereta yang membawa para turis ke tempat rafting dan wisata menunggang gajah. Harga tiketnya 100 Bath. Ada juga tiket spesial, dengan membayar 150 Bath, turis mendapat servis air mineral, cola, tissue basah, dan sertifikat selama kereta tua itu melaju. Yes, sertifikat, yang sayangnya tidak bisa dipakai melamar kerja. Saya tergelitik membahas keseriusan Thailand merawat tempat wisatanya. Bahkan di tempat yang jauh dari ibu kota, stasiun ini terawat dengan baik. Cuaca memang panas, namun siapa yang tidak bersemangat naik kereta tua Thailand (yag kondisinya mirip kereta api ekonomi kita beberapa tahun lalu). Saya suka tiket keretanya dicetak di atas kertas tebal dengan sekilas sejarah jalur kereta api Thailand - Myanmar.

Thakilen Railway Station


Kereta api muncul dari kejauhan, calon penumpang diminta mundur sampai garis batas aman. Kereta spesial kami, adalah kereta tua tanpa pelindung kaca. Kepala para penumpang bisa leluasa mecungul ke luar jendela. Petugas kereta api dengan ramah menyodorkan pesanan kami. Cola, air mineral, dan tissue basah tersedia di hadapan masing - masing.

Special Ticket Price Service

Terakhir, petugas kembali menghampiri kami dan membagikan sertifikat. Oh, w.o.w! Kami benar - benar mendapatkan sertifikat dari perjalanan di atas kereta ini.

Certificate for Special Ticket Price

Guider kami muncul dari gerbong lain. Dia menyebutkan setelah ini akan ada pemandangan menarik, yaitu ketika kereta melewati jembatan dan berjalan pelan - pelan. Beberapa menit kemudian kereta pun mulai memperlambat lajunya. Dan, inilah yang dibayarkan Kanchanaburi kepada kami:

Green heaven around the train track


[3]

1 komentar:

  1. Halo mau nanya hehe, kalo masih inget ini pake tour apa ya? terus harganya berapa? terimakasih banyakkk :)

    BalasHapus