Senin, 19 Mei 2014

Bunyi rem lokomitif berdecit - decit mengukuhkan kerentaan rangkaian kereta itu di atas rel rapuh bikinan jaman penjajahan. Kereta terus melintas di sisi sungai Meaklong. Warna airnya hijau seperti tumbuhan di sekitarnya. Beberapa wahana outbound tampak di tepian sungai. Penumpang sibuk berfoto, menjulurkan kepala mereka dari jendela tanpa kaca. Kanchanaburi menawarkan alamnya sebagai tujuan wisata. Landscape - nya benar - benar mirip dengan Desa Parang Kabupaten Magetan, rumah Mbah Putri, namun dengan jumlah tumbuhan yang lebih rapat menutup perbukitannya.

Welcome to Kanchanaburi's nature

Perjalanan kurang dari satu jam. Saya, Fandi, dan Ara punya teman baru. Rizwan. Indonesian. Cerita memalukan dibalik perkenalan kami adalah begini: sebelum naik ke van di Khaosan Road, kami mampir ke Sevel. Ada seorang cowok (yang ternyata Rizwan) duduk di sebelah seat kami. Sepertinya orang Cina, atau orang Thai. Kegambrengan kami pun tidak terbendung. "Lo mau? Lucu tuh," Fandi memancing percakapan ngawur kami sambil melirik nakal ke arah Rizwan. "Mauuuuu!!!! Bagi sama lo ye," jawab saya dengan suara keras sambil ngakak. Kita pakai Bahasa karena yakin dia tidak paham. Begitu van melaju, cowok di sebelah saya tetap diam. Sepertinya dia pemalu. Saya berinisiatif membuka pembicaraan, "Where do you come from?" Dia menoleh sambil tersenyum ramah, "Indonesia, lo juga kan ya? Gue dari Jakarta." Seketika mata saya dan Fandi bertatapan, beku, bibir bergelombang menahan tawa. Namun tidak berhasil, badan kami berguncang. Sejurus kemudian kami tenggelam dalam tawa cekikian, antara menahan malu, geli, dan tengsin. Sekarang kita berteman baik. Duduk bersama dalam satu rombongan. Suasana mencair.

Suddenly besties
Kereta berhenti di Stasiun Wang Pho. Dan van sudah menjemput lagi membawa kami makan siang di sebuah tempat semacam warung. Next trip, adalah elephant riding. Lokasinya di tepian sungai yang kami lalui dengan kereta api tadi. Namun sebelumnya, kami diajak untuk bamboo rafting. Rombongan turun ke arah sungai, sudah ada rakit panjang menanti di sana. Oh, ini yang dimaksud bamboo rafting. Saya pikir, mereka salah memakai term. Atau saya yang memvisualisasikannya terlalu lebay. Rafting di otak saya adalah naik perahu karet melintasi bebatuan dan derasnya aliran sungai. Rafting di hadapan saya adalah sebuah rakit panjang dengan tiga gubuk kecil di tengahnya. Selama perjalanan penumpang duduk di bawah gubuk itu, atau boleh juga mengganggu pendayungnya, pinjam dayung lalu foto - foto di ujung rakit.

It is called rafting...
Sebuah perahu motor tiba - tiba mendekat dan mendahului rakit. Rakit saat itu berhenti, si pendayung malah duduk - duduk bersama kami di gubug. Hingga tiba - tiba rakit bergerak melawan arah, kembali ke arah starting point kami. Oh, damn! Perjalanan rafting aneh ini hanya sepurit. Rakit kami ditarik ke tempat bersandar lagi. Lalu kami diminta keluar dari rakit menuju kandang gajah. Gajah - gajah sudah menunggu untuk ditunggangi.

Super love this adventure

Seorang gadis kecil duduk di atas seekor gajah mini. Rambutnya merah terbakar matahari, kulitnya pun gelap. Kaos pink fanta yang ia pakai kontras dengan warna kulitnya. Dia tersenyum pada saya. Tangannya melambai - lambai mengajak saya naik ke gajah kecilnya. Satu gajah dua penumpang. Rizwan kali ini bersama saya, naik di gajah Si Neng. Neng, bukan Eneng panggilan Sunda. Huruf 'e' di namanya dibaca seperti dalam kata 'mengerti'. Dia mengendalikan gajah sambil sedikit berteriak. Agak kasar menurut saya. Saya juga sedikit terganggu dengan alat, entah itu untuk menghalau atau untuk merumput yang dicantol di telinga gajah kecil itu. Ada sedikit luka di pangkal atas daun telinganya, sepertinya karena goresan benda itu. Tidak berapa lama HP - nya berbunyi. Sekarang dia nyetir sambil bertelepon dengan seseorang. Anak SMP ini sepertinya sedang puber. Saya dan Rizwan hanya cekikikan membayangkan dia sedang bicara apa dengan yang di seberang saya? "Sayang, lagi apa? Sudah makan? Aku lagi angon gajah nih...,"


Si Neng dan sahabatnya

Gajah kami menaiki bukit kecil bersama kawanan gajah yang lain. Semuanya membawa turis. Fandi dan Ara bersama gajah yang lebih besar. Gajahnya mereka pipis dan membuat saya terperangah dengan 'size' - nya. Neng bicara dalam Bahasa Inggris pas - pasan. Menawarkan sovenir dengan harga tidak masuk akal. Kami menolaknya. Dia berusaha lagi, kali ini menawari saya foto bersama gajah. Sekali foto 100 Bath. Mentalnya benar - benar kapitalis. Sekali lagi saya jawab tidak. Saya tahu di setiap wahana semacam ini ada paparazzi. Saya memang berencana membeli foto darinya nanti.

Piknik di bawah pohon
Setelah berteduh dan membiarkan gajahnya merumput, kami kembali ke pemberhentian. Lagi - lagi ada anak laki - laki gundul meminta tip. Dia lari setelah membawa 15 Bath dari saya. Saya membeli foto berbingkai hasil karya paparazzi. Foto kami: saya, Rizwan, Neng, dan gajah kecil. Saya hadiahkan itu untuk Rizwan. Friendship forever. 

Sedikit di luar tema tamasya saya. Saya sempat bertanya - tanya waktu melihat meja penuh dengan pisang tidak jauh dari kandang gajah. Apakah si gajah dipelihara dengan baik? Apakah manusia yang memanfaatkan jasanya memberikan mereka 'gaji'? Seperti apa perawatannya? Tarif naik gajah cukup mahal. Hampir 500 Bath. Memandikan gajah bisa lebih dari 500 Bath. Saya juga penasaran, berapa kali masing - masing mengangkut penumpang? Sudah berapa tahun mereka melakukan ini? Si kecil yang saya tunggangi tadi, matanya terlihat sedih. Atau memang mata gajah sedih seperti itu? Entahlah. Saya berharap pemerintah Thailand memperhatikan kesejahteraan hewan yang terkenal di seantero jagad itu. Seperti kata Gandhi: Watak negara dapat dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan hewan yang hidup di wilayahnya. [4]

2 komentar:

  1. enaknyo jalan2 ke thailand... #ngiri #ngeces hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pergi gih :*
      Kau juga bikin ngiri, tambah produktif, macam masa subur. Akunya stand by terus di blogmu kalau2 anakmu brojol lg. Hahay.

      Hapus