Jhendra.
Dia salah satu dari sedikit teman baik saya. Kami pernah satu kelas 8 tahun,
dan satu sekolah selama 12 tahun. Jika saja waktu itu saya berhasil masuk HI
UGM, bisa saja kami 16 tahun sekolah di tempat yang sama. Tapi pada akhirnya
kami terpisah, melanjutkan kuliah di universitas dan kota yang berbeda. Dia
adalah salah satu teman baik saya yang tidak pernah gagal bikin jaw dropping moment karena berbagai hal
yang berkaitan dengan pencapaian di hidupnya.

Tingkahnya banyak, susah
diam. Anteng bukan image yang melekat di dirinya. Karena
tingkahnya, sering kali dia mengalami kecelakaan kecil saat bermain, misalnya:
kulit pergelangan tangan sobek tersangkut batang pohon. Lukanya tidak seberapa,
tapi nangisnya sulit sekali berhenti. Telapak kakinya pernah luka parah karena
menginjak gelas. Karena kejadian itu dia harus pakai kruk ke sekolah. Dia juga
pernah menyebabkan kecelakan ringan terhadap teman-temannya. Saya ingat waktu
itu ada adik kelas yang harus mendapat penanganan medis karena kepalanya bocor,
kena pintu gara-gara ditutup mendadak sama Jhendra.
Waktu SD,
saya termasuk anak yang bandel. Iya, bandelnya sama dengan Jhendra. Dia salah
satu tandem kuat saya dalam hal nilai dan berantem.
Saya harap kamu ingat berapa kali kita tampar-tamparan waktu kecil, Jhen. Namun
dia bagi saya bukan anak nakal. Dia penurut, dia punya empati yang besar kepada
kawannya, dan dia mellow. Hal yang
paling saya ingat tentang dia adalah suatu hari dia mengajak saya dan beberapa
teman untuk menyebrang ke makam di depan sekolah kami. Dia menempelkan badannya
ke pagar, sambil menunjuk, “Itu makam Papah.” dan kami hanya bisa ber – Ooo panjang.
Saya waktu itu diam saja, melihat raut mukanya berubah. Berubah sesaat lalu
kembali cengengesan, dan itu bikin suasana harunya gagal klimaks.
Saya pikir,
bukan hanya saya yang dekat dengan dia. Saya yakin hampir semua orang yang
pernah kenal Jhendra pasti merasa sangat dekat dengan dia. Kepribadiannya
ramah, humoris, dan jarang marah. Di masa kuliah saya hanya bertemu dengan dia
beberapa kali. Itupun karena kami ada reuni SD atau SMA. Justru, saking jarangnya
bertemu dia, saya jadi sering jaw
dropping mendengar pencapaian dia dalam kurun waktu hingga kami bertemu.
Saya tahu
dia mengaktualisasi diri dengan baik di masa remaja. Kami satu SMA seperti yang
saya jelaskan sebelumnya. Dia demen mengikuti
kompetisi semacam debat Bahasa Inggris dan duta wisata. Saya ingat dia gagal
juara di kompetisi duta wisata Magetan, tempat tinggalnya sendiri. Lalu dia
justru juara di kompetisi duta wisata Madiun, kota yang tertulis di akta
lahirnya dan kota tempat SMA kami berada. Hebatnya, dia berhasil juara
Raka-Raki, itu duta Jawa Timur, by the
way.
Saya juga sangat percaya upayanya mengaktualisasi diri selama kuliah. Tahu-tahu
dia keliling Eropa karena satu urusan konferensi atau kompetisi, saya lupa.
Sedangkan saya masih juga berkubang di daerah Gubeng, Surabaya tanpa gerakan
yang berarti. Seolah dia adalah jantung yang tidak pernah berhenti
berdenyut-denyut, dan saya adalah kedutan di bawah mata.
Tahu-tahu
dia dapat program beasiswa pendek di Singapore. Sementara saya masih jadi
pecundang tukang ngaret dan telat mengumpulakan jurnal kuliah. Baru setelah
itu, tanpa dia ketahui dia berhasil menginspirasi saya untuk ikut voluntary program ke India. Yes¸it was.Dan entah prestasi apa lagi yang tidak saya ketahui, yang jelas pencapaiannya awesome.
Kalau tidak
salah ingat, dia juga lulus beberapa bulan lebih awal dari saya. Lalu dia
bekerja di Mark Plus di Jakarta. Saya memulai karir beberapa bulan setelah dia
bekerja. Ketika saya baru memulai karir, dia sudah merasakan business trip ke Cina. Saya? Masih di
kawasan Kertajaya, Surabaya.
Jaw dropping moment terbaru tentang dia adalah pagi
tadi. Saya menemukan notifikasi di email tentang
karir barunya sebagai kandidat diplomat Kemenlu tahun ini. Tahu perasaan saya
saat itu seperti apa? Iri! Ya, saya iri. Bercampur dengan terharu. Keberhasilannya berilau silau dengan kurang ajar. Saya tidak bayangkan sekeras apa usahamu, untuk meng-update karir se-prestisius itu.
Pencapaiannya
selama ini membuat saya memahami bahwa apa yang kita pikirkan adalah kenyataan.
Tugas kita, membuatkan jalan agar dia bisa muncul ke permukaan. Kurang lebih sama dengan sumber air yang harus digali susah payah baru airnya muncul ke permukaan.
Adik
laki-laki saya dalam akun Twitternya @RSyahwidhie pernah nge-twit begini: lek duwe karep di fix ke cuk, jancuk.
Saya yakin dia lagi gusar sama dirinya sendiri. Yang saya sadari, sebenarnya
itu tidak terjadi hanya pada dirinya. Pada saya juga. Pada anda juga? Silakan
dicari sendiri. Saya ingat sudah berapa kali saya punya satu keinginan, namun
itu hanya berakhir ngenes tanpa
pernah menjadi nyata. Sudah berapa kali saya mematikan ambisi saya sendiri
tanpa rasa bersalah. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali saya menginginkan
sesuatu lalu mati-matian memperjuangkannya. Mulai dari hal kecil misalnya
belajar nyetir mobil, hingga rencana
menulis buku yang tidak jadi-jadi. Pecundang sejati ini perlu disembuhkan.
Back again, Jhendra. Saya buat tulisan ini untuk kamu.
Selamat ulang tahun ya gigi hitam. Kamu sampai kapanpun, mau dekat atau jauh,
akan jadi idola saya. Sukses selalu di darat, laut, udara, dan luar angkasa.
Kamu, bagi saya sudah menjadi spesies generasi muda langka yang harus
dilestarikan. Berpikirlah dua kali jika terlintas sekali saja kemauanmu untuk
bertindak bodoh. Ingat, di sini ada kawanmu yang bodoh dan akan selalu menunggu
inspirasi dari kamu. Panjang umur, Jhe dan kedua, selamat berjuang di karir barumu.
Allah bless you, bestie!
twitnya adikmu menginspirasi sekali ya, cuk... :v
BalasHapusAku beli bukumu bulan depan ya, cuk... :D
BalasHapusHahahah indeed he is what u hv written about. He achieve as big as his name -samodra-, his body too hahaha
BalasHapus