Selasa, 18 Februari 2014

Menuruti kata hati Mita, teman saya, dan kejenuhan saya di kantor, berangkatlah kami ke Kediri pada hari ke-3 setelah Gunung Kelud meletus. Kami akan mengunjungi pengungsi di kawasan Plosoklaten, Kediri. Mita juga berencana mencari pengasuhnya waktu kecil dulu, Ibu Titik Lestari. Mungkin saja bisa ketemu di pengungsian.

Sama – sama buta arah, modal kami hanya nekad dan berdoa. Agak merasa bersalah juga karena nggak bisa nyetir, jadi Mita yang sepanjang hari nanti akan jadi driver tanpa ada yang menggantikan. Kurang lebih dua jam kami akan berkendara, belum lagi kesasarnya.

Perjalanan kami super smooth. Sudah lama nggak ketemu bikin kami nggak kehabisan bahan untuk dibicarakan. Kangen. Benar-benar kangen Mita. Sejak bekerja, kami sudah sangat jarang bertemu. Berdua saja ke lokasi bencana juga dianggap konyol oleh beberapa kawan.
"Di sana lagi bahaya, ngapain nekad banget kalian?" begitu penolakan teman atas ajakan kami. Kami tetap berangkat. Menurut teman kami yang tinggal di Kediri, bantuan yang mengalir ke lokasi bencana sangat banyak, hanya saja yang menyalurkan sedikit. So we did it for them.

Mita kalau bawa mobil agak-agak ngawur. Si ning nyetirnya salip kiri terus. Mobil sempat diberhentikan polisi di tengah perjalanan. Maksudnya, Pak Polisi sudah menyuruh kami berhenti, tapi kami terobos terus lambaian tangannya. Lalu kami dikejar dengan sepeda motor macam di game 'Road Race'. Tapi percayalah rengekan perempuan itu menyebalkan sekaligus menyelesaikan masalah dengan cepat. Tidak ada sidang, dan SIM dikembalikan. Entah karena Pak Polisi iba atau bete menghadapi Mita yang terus-terusan bilang: "Please Pak, tolong lah Pak, please, please, please,"

“Ah ini cuma ujian, kita pulang ke Surabaya atau tetep tancap gas ke Plosoklaten, hahahaha…” begitulah dia tanpa dosa membenarkan kesalahannya sendiri.


Kami masuk ke Kota Kediri tengah hari. Jarak pandang cukup pendek. Debu berhamburan di udara. Warga masih memakai masker menutup mulut dan hidungnya. Beberapa berjualan masker di pinggir jalan.



Mita & Dianti
Aktifitas warga kota sudah normal. Lalu-lalang kendaraan cukup ramai. Jarak pandang semakin pendek karena debu beterbangan dihempas roda kendaraan. Sebagian besar toko di pinggir jalan utama masih tutup. Ada juga yang 'maksa' berjualan dengan debu yang berhamburan dijalan begini. Murid-murid sekolah sudah beraktifitas seperti biasa. Mereka terlihat baru pulang sekolah siang itu. Wajahnya dihiasi masker untuk menghalau debu yang bercampur dengan udara.


Plosoklaten ditempuh kurang lebih 20 menit dari Kota Kediri. Kami sempat lewat di Simpang Lima Gumul, dan begini penampilan ikon Kediri tersebut, masih diselimuti pasir dan kerikil:


Simpang Lima Gumul

Simpang Lima Gumul

Jalan depan Simpang Lima Gumul

Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya masuklah kami ke kawasan PG Djengkol. Warga di kawasan ini terlihat mulai membersihkan rumahnya. Mengeruk pasir dari permukaan atapnya dengan alat bantu dari bambu panjang yang dipasang sekop di ujungnya. Ibu - ibu mengguyur halaman dengan air sebelum mengeruk pasir yang menutup halaman setebal lima sentimeter. Listrik kabarnya baru saja menyala setelah padam beberapa hari.




Warga membersihkan jalan dan rumah


Pengungsi di PG Djengkol dirumahkan di salah satu bangunan besar di area pabrik gula tersebut. Rumah yang ada mobil pick up - nya inilah tempat di mana pengungsi dirumahkan:

Tempat tinggal pengungsi


Saya tidak menggali informasi apa-apa tentang jumlah pengungsi atau dari mana asal mereka. Sungkan. Apalagi harus ngobrol. Saya merasa berhutang jika saya tidak bisa berbuat apa-apa setelah mereka berkeluh-kesah. Ora wani takon.

Di tempat itu Mita tidak berhasil menemukan pengasuhnya. Dia hanya ingat rumah si ibu ada di Plosoklaten, tapi nggak paham di sebelah mana. Data pengungsi tidak merekam namanya. Tidak ada yang kenal nama itu.

Kami segera pulang setelah semua bantuan diturunkan. Jalanan berpasir, debu bercampur dengan udara, dan semua rumah punya gundukan pasir seperti mereka sedang merenovasi huniannya. Kediri sudah mirip Padang Sahara. Satu lagi yang menarik perhatian saya selama perjalanan, ada yang tetap menggelar resepsi pernikahan di tengah terpaan debu pasca meletusnya Gunung Kelud. Salutlah pada mempelai.


Last, bagi teman-teman yang masih ingin menyalurkan bantuan atau turun tangan langsung membantu warga membersihkan lingkungannya, silakan. Sedikit atau banyak bantuanmu bukan jadi masalah. Terpenting bagi mereka adalah kita peduli. Sebelum menyalurkan bantuan, jangan lupa gali informasi wilayah mana yang memerlukan bantuan. It's not only Kediri dear. Ada beberapa desa di Malang dan Blitar yang juga memerlukan bantuan. Go move your ass :*








0 komentar:

Posting Komentar