Selasa, 01 April 2014

Langit kota sudah mulai gelap. Saya sedang berkendara pulang. Pekerjaan hari ini begitu - begitu saja. Saya melamun saat berhenti di lampu merah. Kebiasaan saya saat di jalan adalah membayangkan hal - hal yang mengerikan, misalnya jika kecelakaan terjadi antara mobil di depan saya dengan motor di sebelahnya, atau mungkin dengan saya sendiri. Mungkin karena terlalu sering melihat kecelakaan di depan mata. Jadilah membayangkan hal semacam itu lumrah. Tapi entah mengapa tiba - tiba saya sadar, bahwa membayangkan kematian itu mengerikan. Bayangkan jika seseorang meninggal dunia, artinya kita sampai kapanpun tidak bisa berbicara dua arah lagi dengannya, dan buat saya itu mengerikan (beberapa orang mengatakan kita tetap bisa berkomunikasi dengan mereka, sayangnya saya belum tahu bagaimana caranya). Bayangkan jika hanya bisa melukis bayangan mereka dalam pikiran, apa yang lebih indah selain bisa melihat wujudnya. Iya bukan?

Dan lamunan saya, mungkin adalah pertanda.

Saya sudah terbiasa mendengar kabar kematian orang - orang di sekeliling saya. Namun kali ini, beda. Karena tiba - tiba saja, saya tidak akan pernah berbicara lagi dengan salah satu orang baik yang pernah saya kenal. Dani. 

Nur Hamdani Hasan. Meninggal tanggal 3 Maret 2014. Sekarang dia mewujud sebagai kenangan. Saya masih bisa mengenang riang dan ramahnya. Gelak tawanya yang menggelegar. Gaya rambutnya yang dikuncir kecil ke belakang, sedangkan bagian bawahnya dicukur tipis, mirip gaya rambut samurai.

Pacar saya memanggilnya satpam. Apa lagi kalau bukan karena body nya yang tinggi besar dan tampang sangarnya. Dia adalah figur mahasiswa yang aktif berorganisasi. Di AIESEC, entah berapa kali dia mengambil posisi kepanitiaan, sudah tidak terhitung. Dia bahkan mau membantu sebisanya meskipun itu bukan acara timnya. Di kampus,  dia pernah menduduki posisi di BEM. Dia pernah mencalonkan diri sebagai kahima, yang kemudian gagal. Namun, langkahnya tidak pernah surut. Dani adalah Dani si ceria, si lucu, dan si pengkritik pedas terhadap semua hal yang tidak sebagaimana mestinya.

Tentu tidak ada yang menyangka, kepulangannya ke Bulukumba kali ini adalah untuk yang terakhir. Dia tidak pernah kembali. Tidak akan pernah. Jasadnya mengapung di kolam siang itu. Di sana, dia sedang bekerja memperbaiki kolam ikan miliknya. Dia akan memindahkan pompa air merk National - nya ke tempat lain, karena dirasa telah 19 tahun 'bekerja keras'. Aliran listrik pompa air itu yang membuatnya meninggalkan kami semua.




Besok, 30 hari sudah dia pergi.

Dani, akan ada saatnya kita berjumpa lagi. Berbahagialah di sana. Tetaplah bertingka polah luar biasa seperti di sini. Berteriaklah yang lantang jika memang ada yang keliru, sama seperti saat kamu di sini.



See u soon, Dani...
We all love you, and always will be...

Sabtu, 29 Maret 2014

Kalau duniamu yang sekarang berhenti menawarkanmu kebahagiaan, mana mungkin kamu tidak pergi, eh?
Ibaratnya kamu diijinkan tinggal di dalam rumah setelah bertahun menggelandang di jalanan. Namun di dalam rumah itu kamu disiksa, tidak dipedulikan, diperas tenaganya... Siapa yang mau hidup begitu?

Siapapun yang masuk ke rumah itu, pasti membawa segudang mimpi dan harapan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Lihatlah pilar-pilar itu kokoh berdiri dengan angkuhnya. Menawarkan perlindungan dan diwaktu yang sama mengancam siapapun yang tidak bernaung di bawahnya. Siapa yang tidak gemetar mendengar nama besarnya. Seluruh negara tahu siapa dia.

Kami pun begitu, dengan polosnya menerobos masuk. Bangga menyaksikan keadaan luar dari balik jendela sambil berkata, "Saya sudah aman sekarang."
Dijamu dengan jaminan keamanan dan janji kesejahteraan di sana sini, kami mengabdi dengan tulus. Hanya untuk membuat kami tetap diterima dengan ramah di ruang-ruangnya.

Dan tahukah kamu keramah-tamahan adalah bentuk kebohongan terbesar. Ketulusan adalah wujud keramahan yang sesungguhnya. Maka jangan pernah percaya pada mulut manis yang menawarkan dunia bertabur bintang. Jika sungguh bintang yang cahayanya indah di atas kepalamu itu terjun ke bumi, wujudnya akan menjadi mengerikan, dan, meluluhlantakan tanah tempatmu berpijak. Apa yang kamu yakini sebagai cahaya sebenarnya adalah batu yang setara luasnya dengan satu kecamatan di Surabaya.

Nilai keyakinan tidak pernah hakiki. Yang kita yakini benar tadi pagi, bisa menjadi salah beberapa saat nanti. Begitu juga sebaliknya. Seperti halnya sekarang, aku sudah tidak lagi mempercayakan keamanan diriku kepada rumah itu. Aku pamit ya...


Kamis, 13 Maret 2014


"Kamu dulu kuliah apa, Dianti?" tanya klien saya, Pak Candra kepada saya suatu pagi ketika beliau berkunjung ke kantor.
"HI, Pak."
"Kok bisa kamu kerja di properti? Apa rencanamu dulu begitu?"
"Nggak, Pak. Saya sih maunya S2."

Beliau bersandar, lalu melanjutkan,"Mau ke mana setelah S2? Kemenlu?"
"Sampai sekarang saya nggak kepikiran Kemenlu, Pak. Saya lebih berminat organisasi internasional sih."
"Kenapa?"
Saya mulai berpikir sedang diwawancarai Najwa Sihab, "Jadi begini, Pak," saya melanjutkan "Saya percaya nantinya saya akan menikah. Sampai sekarang saya mengkhawatirkan diri saya telat menikah karena mengejar karir. Kalau saya kerja di Jakarta sih nggak masalah, Pak. Nah, kalau saya ditugaskan ke kedutaan atau konjen, beda cerita."
"Kalau kamu di organisasi, nasibmu akan sama to,"
"Paling tidak saya tidak terikat urusan protokoler."
"Begitu ya," katanya sambil mengusap wajah.

"Orang berpikir untuk tidak membuang waktu sewaktu muda. Tapi orang menerjemahkan kalimat itu hanya perihal karir saja. Saya pikir itu nggak bijak, Dianti. Jadi betul, seharusnya orang memanfaatkan waktu sebaik - baiknya dengan tidak membuang - buang waktu yang lain. Mereka pikir akan selalu bahagia kalau karirnya mapan. Belum tentu," beliau melanjutkan, "Itu hanya satu hal saja dalam hidup. Wanita banyak mengejar karir sekarang. Tapi lagi - lagi yang paling penting itu bahagia dulu. Orang sepertimu itu pasti berambisi. Itu bagus. Tapi bagi saya pribadi, wanita kalau sudah punya visi karir yang baik, umumnya egois."
"Betul," jawab saya tanpa menyanggah.

"Keponakan saya, kerja di Cina. Hebat, pikir saya. Lima tahun kemudian dia pulang ke Indonesia. Lima tahun, beli properti di Cina saja dia tidak sanggup. Bagi saya itu buang waktu. Ujung - ujungnya pulang,"
Saya tersenyum sambil terus menyimaknya. "Lima tahun itu, berarti dia kehilangan kesempatan lebih dekat dengan orang tuanya. Di sana dia pegawai sebuah perusahaan besar. Tapi ya pegawai. Pegawai! Apa tidak lebih baik dia jadi owner di perusahaan keluarga? Betul memang perusahaan keluarganya tidak terkenal, tapi lima tahun itu dia menggaji sekian ratus orang dan mengembangkan bisnis. Kita tidak pernah tahu lima tahun itu akan diganjar apa oleh Tuhan. Bisa jadi perusahaan keluarganya bisa lebih hebat dalam lima tahun. Apa itu buang waktu?"
Saya menggelengkan kepala.
"Papanya bilang pada saya, umur sudah makin tua, anak sudah besar - besar. Tapi mau ketemu saja susahnya setengah mati. Kasihan ya,"

Beliau melanjutkan lagi, "Saya tidak tahu istri saya bahagia atau tidak. Saya tidak pernah tanya. Tapi saya pikir dia bahagia. Kasihan sih dia, sekarang jd benar - benar bodoh, baca koran saja tidak sempat. Dia yang memilih jadi ibu rumah tangga, saya sama sekali tidak paksa dia. Dia berhenti jadi notaris. Dia merawat anak - anak sejak bayi sampai sekarang. Anak saya keduanya perempuan, dia yang antar jemput dan mengurus keperluannya. Kami juga tidak punya pembantu, dia yang merawat rumah. Saya tidak pernah diprotes selama ini. Tapi 18 tahun, sekalipun dia tidak pernah bicara soal keinginanya berkarir. Dia sudah memilih."

"Jadi, pilihlah mana yang menurutmu baik, bagimu dan bagi orang sekitarmu."

Semua tentang pilihan...

Selasa, 18 Februari 2014

Menuruti kata hati Mita, teman saya, dan kejenuhan saya di kantor, berangkatlah kami ke Kediri pada hari ke-3 setelah Gunung Kelud meletus. Kami akan mengunjungi pengungsi di kawasan Plosoklaten, Kediri. Mita juga berencana mencari pengasuhnya waktu kecil dulu, Ibu Titik Lestari. Mungkin saja bisa ketemu di pengungsian.

Sama – sama buta arah, modal kami hanya nekad dan berdoa. Agak merasa bersalah juga karena nggak bisa nyetir, jadi Mita yang sepanjang hari nanti akan jadi driver tanpa ada yang menggantikan. Kurang lebih dua jam kami akan berkendara, belum lagi kesasarnya.

Perjalanan kami super smooth. Sudah lama nggak ketemu bikin kami nggak kehabisan bahan untuk dibicarakan. Kangen. Benar-benar kangen Mita. Sejak bekerja, kami sudah sangat jarang bertemu. Berdua saja ke lokasi bencana juga dianggap konyol oleh beberapa kawan.
"Di sana lagi bahaya, ngapain nekad banget kalian?" begitu penolakan teman atas ajakan kami. Kami tetap berangkat. Menurut teman kami yang tinggal di Kediri, bantuan yang mengalir ke lokasi bencana sangat banyak, hanya saja yang menyalurkan sedikit. So we did it for them.

Mita kalau bawa mobil agak-agak ngawur. Si ning nyetirnya salip kiri terus. Mobil sempat diberhentikan polisi di tengah perjalanan. Maksudnya, Pak Polisi sudah menyuruh kami berhenti, tapi kami terobos terus lambaian tangannya. Lalu kami dikejar dengan sepeda motor macam di game 'Road Race'. Tapi percayalah rengekan perempuan itu menyebalkan sekaligus menyelesaikan masalah dengan cepat. Tidak ada sidang, dan SIM dikembalikan. Entah karena Pak Polisi iba atau bete menghadapi Mita yang terus-terusan bilang: "Please Pak, tolong lah Pak, please, please, please,"

“Ah ini cuma ujian, kita pulang ke Surabaya atau tetep tancap gas ke Plosoklaten, hahahaha…” begitulah dia tanpa dosa membenarkan kesalahannya sendiri.


Kami masuk ke Kota Kediri tengah hari. Jarak pandang cukup pendek. Debu berhamburan di udara. Warga masih memakai masker menutup mulut dan hidungnya. Beberapa berjualan masker di pinggir jalan.



Mita & Dianti
Aktifitas warga kota sudah normal. Lalu-lalang kendaraan cukup ramai. Jarak pandang semakin pendek karena debu beterbangan dihempas roda kendaraan. Sebagian besar toko di pinggir jalan utama masih tutup. Ada juga yang 'maksa' berjualan dengan debu yang berhamburan dijalan begini. Murid-murid sekolah sudah beraktifitas seperti biasa. Mereka terlihat baru pulang sekolah siang itu. Wajahnya dihiasi masker untuk menghalau debu yang bercampur dengan udara.


Plosoklaten ditempuh kurang lebih 20 menit dari Kota Kediri. Kami sempat lewat di Simpang Lima Gumul, dan begini penampilan ikon Kediri tersebut, masih diselimuti pasir dan kerikil:


Simpang Lima Gumul

Simpang Lima Gumul

Jalan depan Simpang Lima Gumul

Setelah bertanya beberapa kali, akhirnya masuklah kami ke kawasan PG Djengkol. Warga di kawasan ini terlihat mulai membersihkan rumahnya. Mengeruk pasir dari permukaan atapnya dengan alat bantu dari bambu panjang yang dipasang sekop di ujungnya. Ibu - ibu mengguyur halaman dengan air sebelum mengeruk pasir yang menutup halaman setebal lima sentimeter. Listrik kabarnya baru saja menyala setelah padam beberapa hari.




Warga membersihkan jalan dan rumah


Pengungsi di PG Djengkol dirumahkan di salah satu bangunan besar di area pabrik gula tersebut. Rumah yang ada mobil pick up - nya inilah tempat di mana pengungsi dirumahkan:

Tempat tinggal pengungsi


Saya tidak menggali informasi apa-apa tentang jumlah pengungsi atau dari mana asal mereka. Sungkan. Apalagi harus ngobrol. Saya merasa berhutang jika saya tidak bisa berbuat apa-apa setelah mereka berkeluh-kesah. Ora wani takon.

Di tempat itu Mita tidak berhasil menemukan pengasuhnya. Dia hanya ingat rumah si ibu ada di Plosoklaten, tapi nggak paham di sebelah mana. Data pengungsi tidak merekam namanya. Tidak ada yang kenal nama itu.

Kami segera pulang setelah semua bantuan diturunkan. Jalanan berpasir, debu bercampur dengan udara, dan semua rumah punya gundukan pasir seperti mereka sedang merenovasi huniannya. Kediri sudah mirip Padang Sahara. Satu lagi yang menarik perhatian saya selama perjalanan, ada yang tetap menggelar resepsi pernikahan di tengah terpaan debu pasca meletusnya Gunung Kelud. Salutlah pada mempelai.


Last, bagi teman-teman yang masih ingin menyalurkan bantuan atau turun tangan langsung membantu warga membersihkan lingkungannya, silakan. Sedikit atau banyak bantuanmu bukan jadi masalah. Terpenting bagi mereka adalah kita peduli. Sebelum menyalurkan bantuan, jangan lupa gali informasi wilayah mana yang memerlukan bantuan. It's not only Kediri dear. Ada beberapa desa di Malang dan Blitar yang juga memerlukan bantuan. Go move your ass :*








Jumat, 07 Februari 2014

Jhendra. Dia salah satu dari sedikit teman baik saya. Kami pernah satu kelas 8 tahun, dan satu sekolah selama 12 tahun. Jika saja waktu itu saya berhasil masuk HI UGM, bisa saja kami 16 tahun sekolah di tempat yang sama. Tapi pada akhirnya kami terpisah, melanjutkan kuliah di universitas dan kota yang berbeda. Dia adalah salah satu teman baik saya yang tidak pernah gagal bikin jaw dropping moment karena berbagai hal yang berkaitan dengan pencapaian di hidupnya.

Waktu SD, dia bisa dibilang salah satu anak popular di sekolah. Dia salah satu anak yang tinggi badannya di atas rata-rata anak SD. Wajahnya bulat, ganteng, dan dandy dibandingkan kebanyakan anak laki-laki yang sekolah di SD itu. Gigi seri bagian depannya hitam. Itu physical brand dia. :D

Tingkahnya banyak, susah diam. Anteng bukan image yang melekat di dirinya. Karena tingkahnya, sering kali dia mengalami kecelakaan kecil saat bermain, misalnya: kulit pergelangan tangan sobek tersangkut batang pohon. Lukanya tidak seberapa, tapi nangisnya sulit sekali berhenti. Telapak kakinya pernah luka parah karena menginjak gelas. Karena kejadian itu dia harus pakai kruk ke sekolah. Dia juga pernah menyebabkan kecelakan ringan terhadap teman-temannya. Saya ingat waktu itu ada adik kelas yang harus mendapat penanganan medis karena kepalanya bocor, kena pintu gara-gara ditutup mendadak sama Jhendra.

Waktu SD, saya termasuk anak yang bandel. Iya, bandelnya sama dengan Jhendra. Dia salah satu tandem kuat saya dalam hal nilai dan berantem. Saya harap kamu ingat berapa kali kita tampar-tamparan waktu kecil, Jhen. Namun dia bagi saya bukan anak nakal. Dia penurut, dia punya empati yang besar kepada kawannya, dan dia mellow. Hal yang paling saya ingat tentang dia adalah suatu hari dia mengajak saya dan beberapa teman untuk menyebrang ke makam di depan sekolah kami. Dia menempelkan badannya ke pagar, sambil menunjuk, “Itu makam Papah.” dan kami hanya bisa ber – Ooo panjang. Saya waktu itu diam saja, melihat raut mukanya berubah. Berubah sesaat lalu kembali cengengesan, dan itu bikin suasana harunya gagal klimaks.

Saya pikir, bukan hanya saya yang dekat dengan dia. Saya yakin hampir semua orang yang pernah kenal Jhendra pasti merasa sangat dekat dengan dia. Kepribadiannya ramah, humoris, dan jarang marah. Di masa kuliah saya hanya bertemu dengan dia beberapa kali. Itupun karena kami ada reuni SD atau SMA. Justru, saking jarangnya bertemu dia, saya jadi sering jaw dropping mendengar pencapaian dia dalam kurun waktu hingga kami bertemu.

Saya tahu dia mengaktualisasi diri dengan baik di masa remaja. Kami satu SMA seperti yang saya jelaskan sebelumnya. Dia demen mengikuti kompetisi semacam debat Bahasa Inggris dan duta wisata. Saya ingat dia gagal juara di kompetisi duta wisata Magetan, tempat tinggalnya sendiri. Lalu dia justru juara di kompetisi duta wisata Madiun, kota yang tertulis di akta lahirnya dan kota tempat SMA kami berada. Hebatnya, dia berhasil juara Raka-Raki, itu duta Jawa Timur, by the way.

Saya juga sangat percaya upayanya mengaktualisasi diri selama kuliah. Tahu-tahu dia keliling Eropa karena satu urusan konferensi atau kompetisi, saya lupa. Sedangkan saya masih juga berkubang di daerah Gubeng, Surabaya tanpa gerakan yang berarti. Seolah dia adalah jantung yang tidak pernah berhenti berdenyut-denyut, dan saya adalah kedutan di bawah mata.
Tahu-tahu dia dapat program beasiswa pendek di Singapore. Sementara saya masih jadi pecundang tukang ngaret dan telat mengumpulakan jurnal kuliah. Baru setelah itu, tanpa dia ketahui dia berhasil menginspirasi saya untuk ikut voluntary program ke India. Yes¸it was.Dan entah prestasi apa lagi yang tidak saya ketahui, yang jelas pencapaiannya awesome.

Kalau tidak salah ingat, dia juga lulus beberapa bulan lebih awal dari saya. Lalu dia bekerja di Mark Plus di Jakarta. Saya memulai karir beberapa bulan setelah dia bekerja. Ketika saya baru memulai karir, dia sudah merasakan business trip ke Cina. Saya? Masih di kawasan Kertajaya, Surabaya.

Jaw dropping moment terbaru tentang dia adalah pagi tadi. Saya menemukan notifikasi di email tentang karir barunya sebagai kandidat diplomat Kemenlu tahun ini. Tahu perasaan saya saat itu seperti apa? Iri! Ya, saya iri. Bercampur dengan terharu. Keberhasilannya berilau silau dengan kurang ajar. Saya tidak bayangkan sekeras apa usahamu, untuk meng-update karir se-prestisius itu.

Pencapaiannya selama ini membuat saya memahami bahwa apa yang kita pikirkan adalah kenyataan. Tugas kita, membuatkan jalan agar dia bisa muncul ke permukaan. Kurang lebih sama dengan sumber air yang harus digali susah payah baru airnya muncul ke permukaan.

Adik laki-laki saya dalam akun Twitternya @RSyahwidhie pernah nge-twit begini: lek duwe karep di fix ke cuk, jancuk. Saya yakin dia lagi gusar sama dirinya sendiri. Yang saya sadari, sebenarnya itu tidak terjadi hanya pada dirinya. Pada saya juga. Pada anda juga? Silakan dicari sendiri. Saya ingat sudah berapa kali saya punya satu keinginan, namun itu hanya berakhir ngenes tanpa pernah menjadi nyata. Sudah berapa kali saya mematikan ambisi saya sendiri tanpa rasa bersalah. Saya bahkan lupa kapan terakhir kali saya menginginkan sesuatu lalu mati-matian memperjuangkannya. Mulai dari hal kecil misalnya belajar nyetir mobil, hingga rencana menulis buku yang tidak jadi-jadi. Pecundang sejati ini perlu disembuhkan.

Back again, Jhendra. Saya buat tulisan ini untuk kamu. Selamat ulang tahun ya gigi hitam. Kamu sampai kapanpun, mau dekat atau jauh, akan jadi idola saya. Sukses selalu di darat, laut, udara, dan luar angkasa. Kamu, bagi saya sudah menjadi spesies generasi muda langka yang harus dilestarikan. Berpikirlah dua kali jika terlintas sekali saja kemauanmu untuk bertindak bodoh. Ingat, di sini ada kawanmu yang bodoh dan akan selalu menunggu inspirasi dari kamu. Panjang umur, Jhe dan kedua, selamat berjuang di karir barumu.


Allah bless you, bestie!

Kamis, 06 Februari 2014

Kapan terakhir kali kamu melihat ratusan bintang membanjiri langit malam? Seperti butir garam yang ditumpahkan di piring hitam? Mata tidak bisa beralih dari langit, sambil rebahan di pinggir kolam, bersama banyak orang yang terjebak kesakralan malam nyepi, kami sama-sama menikmati indahnya langit Bali. Udara lebih dingin dari biasanya. Nyepi membuat kami berempati pada bumi. Dan alam menampakkan kecantikannya yang paling murni, dengan mengijinkan mata kami menjelajah lautan bintang yang cantik di atas kepala. Sayangnya semua hanya terekam dengan egois buat saya sendiri. Tapi yang tampak malam itu persis seperti di sini:


http://www.pergidulu.com/blog/fakta-nyepi/

Sabtu, 23 Maret 2013


Februari adalah bulan perjalanan ke Thailand di 2013 agenda. Gembira ria akhirnya bisa kembali masuk ke international departure – nya bandara setelah 2 tahun terbelit target wisuda di tahun ke-4 kuliah. Semua sudah dipersiapkan: tabungan selama 2 bulan yang pada akhirnya tidak cukup (mengapa tidak cukup akan dijelaskan di bagian berikutnya), airport tax yang naik menjadi Rp 150.000,00, kamera pinjaman yang tidak ada chargernya sehingga tidak pernah berguna selama di sana.



Penerbangan ke Bangkok dijadwalkan pukul 15.00 WIB setelah dijadwal ulang oleh maskapai AirAsia. Semua prosedur lancar. Penerbangan Surabaya-Bangkok ditempuh dalam waktu 4 jam, padahal awalnya saya pikir hanya 2 jam. Lalu saya lupa bahwa saya terbang dari Surabaya, bukan Jakarta. Keparatnya, perut kelaparan di atas pesawat padahal uang rupiah hanya sisa 15 ribu. Akhirnya hanya bisa beli air mineral kemasan paling kecil seharga 10 ribu. Kapitalisme wajar di atas pesawat, kan? 

Saya duduk bersebelahan dengan seorang wanita asal Probolinggo yang dengan aksen Maduranya yang kental bercerita bahwa dia harus balik ke Probolinggo di tengah perjalanan ke Juanda, Surabaya karena ketinggalan paspor. Saya iba, tapi di dalam hati saya mengutuki perbuatan bodohnya meninggalkan paspor di rumah, padahal sudah jelas-jelas mau ke luar negeri. Nantinya, saya yang dikutuk balik oleh alam semesta.

Pemeriksaan di imigrasi Don-Muang Airport Thailand berjalan lancar. Setelah turun dari eskalator, saya berlari ke toilet, menaruh koper, jaket, dan paspor sembarangan dan menyelesaikan 'urusan’ dengan cepat. Berikutnya, saya membeli kartu telepon di sebuah konter di dekat kantor polisi bandara. Konter sedang ramai saat itu, banyak yang mau beli kartu telepon, dan yang ramai-ramai gerudukan itu adalah orang Indonesia. Saya melanjutkan perjalanan dengan naik shuttle bus menuju stasiun Bangkok Train Station (BTS) Mochit setelahnya, cuma 17 THB dengan bus bersih bebas sampah dan asap rokok. Belakangan saya baru tahu kalau di Thailand tidak boleh makan di dalam bus, apa lagi rokokan. 2.000 THB dendanya.

Teman saya selama di Bangkok, Tika; sudah sampai Bangkok 2 hari sebelumnya. Dia dan Fandi, teman saya yang kerja di AIESEC Thailand (yang bersedia berbagi hunian cuma-cuma selama di Bangkok) sudah menunggu di Siam. Segalanya masih lancar. Kami akan pergi ke gay bar malam itu, itu usulan Fandi by the way. Untuk masuk ke bar, harus ada ID card atau paspor. Oke, setelah siap-siap, saya mencari paspor saya di dalam tas. Dan…. 
Saya tidak menemukan buku ijo itu di manapun. Koper dibongkar, ransel diobrak-abrik, dan tidak ada kabar baik dari usaha itu. Pikiran saya terbang ke Don-Muang Airport, saya yakin paspor itu tertinggal (mungkin) di toilet atau di konter kartu telepon. Saat itu, sejujurnya saya tidak panik. Pikiran positif sangat menolong saya untuk tenang, saya yakin ada seseorang yang menemukannya dan mengembalikannya ke pusat informasi. Sehingga malam itu, kami tetap pergi ke gay bar, saya tidak ingin melewatkan Cabaret Show di sana.

Paginya, kami pergi ke Don-Muang Airport. Kami menuju pusat informasi dan saya menanyakan keberadaan paspor saya. Mereka bilang mereka tidak mendapat laporan apapun soal paspor. Mulai saat itu pikiran saya keruh. Saya kembali mengunjungi counter tempat saya membeli kartu telepon, dan mereka bilang tidak ada paspor tertinggal. Pelayan di counter itu menangkap mimik sedih di muka saya, dia mengantar saya ke kantor polisi untuk membuat laporan kehilangan. Polisi yang bertugas saat itu ramah, tipikal orang Thailand kebanyakan. Dia membuatkan surat kehilangan berbahasa Thailand, memberikan alamat KBRI untuk mengurus paspor baru, dan alamat kantor imigrasi untuk meminta stempel arrival dan surat departure. Sejak hari itu agenda perjalanan saya tambah 1, mengunjungi KBRI.

Keesokan harinya, kami pergi ke KBRI. Seorang petugas menjelaskan kepada saya mengenai prosedur mengurus paspor hilang. Saya tidak bisa mendapat paspor baru, saya hanya akan mendapat Surat Perjalanan Laksana Paspor (SPLP) yang berlaku hanya untuk satu kali perjalanan masuk ke Indonesia. Biaya yang harus saya bayarkan adalah: 1.750 THB atau Rp 603.750,000 (kurs 1 THB = Rp 345,00). Perasaan saya saat itu adalah miskin. Saya merasa dimiskinkan dengan biaya sebesar itu. Maksud perjalanan hemat saya berantakan. Saya tidak mendapat penjelasan lebih lanjut, karena saya tidak ingin mendengarkan apa-apa lagi. Pikiran saya adalah segera mengurus SPLP dan hidup saya tenang. FYI, berikut dokumen yang harus dipersiapkan untuk mengurus SPLP: scan/copy Kartu Keluarga, scan/copy Akta Kelahiran atau Ijazah, scan/copy paspor lama (jika punya), foto 4x6, surat keterangan hilang dari polisi. Saya sudah bilang kan tadi, alam mengutuk saya. Jangan asal bicara soal keadaan orang ya, itu hikmah dari semua ini.
Saya menghubungi Andi, seorang teman saya yang juga traveler untuk mendiskusikan harga SPLP tersebut. 

Dia bilang, di web disebutkan harga SPLP adalah 150 THB sedangkan paspor baru 1.600 THB. Asumsi baik kami adalah saya akan mendapat SPLP dan paspor atau apapun itu yang seharga 1.600 THB.
Keesokan harinya, saya kembali ke KBRI. Saya menyerahkan semua dokumen dan petugas berjanji SPLP saya (yang sampai saat itu saya tidak tahu seperti apa bentuknya) akan jadi besok siang. Saya pergi ke kasir untuk membayar 1.750 THB, kasir menjelaskan bahwa harga SPLP memang 150 THB, “tapi mbak kena denda karena kelalaian menghilangkan dokumen negara, itu biaya sisanya.” Jadi, 1.600 THB itu bukanlah paspor atau apapun yang saya bayangkan sebelumnya, itu adalah denda sodara-sodara. Saya benar-benar miskin dalam arti sesungguhnya setelah meninggalkan kasir. Sejak hari itu, kemanapun pergi, kami berusaha buat jalan kaki, mengurangi perjalanan dengan taksi dan BTS, makan 2x sehari itupun di pinggiran jalan, dan bahkan harus ngutang ke pacar karena kehabisan uang.

SPLP jadi keesokan harinya. Rupanya SPLP adalah buku seukuran paspor dengan sampul hijau muda menyala dan hanya terdiri dari beberapa lembar, di dalamnya terdapat keterangan tentang fungsi surat tersebut. Tika ngeyel untuk pergi ke kantor imigrasi hari itu juga karena kami tidak akan punya kesempatan jalan-jalan kemana-mana jika tidak pergi hari itu. Perjalanan dari KBRI ke kantor imigrasi cukup jauh. Kami harus naik BTS dari Ratchadevi ke Mochit lalu naik taksi. I was amazed. Kantor yang dimaksud ternyata adalah kantor pemerintahan terpusat yang di dalam gedung besar tersebut ada kantor-kantor pemerintahan Bangkok, menjadi satu di dalam satu atap. Kantor akan tutup pukul 16.30, dan kami sampai di sana pukul 16.15. 


Petugas front office menyuruh kami untuk cepat-cepat. Padahal kami tidak tahu apa saja yang harus saya serahkan. Salah satu petugas mengambil SPLP saya dan mem-foto copy-nya. Saya mengambil nomor antrian (sudah jelas tidaka ada yang mengantri saat itu). Saya mendatangi petugas yang seat-nya tertera di nomor antrian. Wajahnya sangar dan tampak tidak senang saya datang.

“Why you come late?” bentaknya tanpa melihat saya.
“I just got this from my embassy”
”Why no come tomorrow, it is almost 16.30!” ternyata sama saja (if you know what I mean).
Si bapak petugas menggerutu sepanjang menyelesaikan urusan saya. Dia kesal saya tidak mempersiapkan foto copy yang harus saya bawa. Tapi saya tidak menyesal karena saya tidak tahu, dan saya bersemangat meski muka si bapak sumpek setengah mati, karena kepulangan saya akan bebas masalah setelah ini. Semuanya beres dalam waktu 10 menit. Si bapak bahkan tidak menjawab salam saya  ketika saya pulang.

Semua aman sampai di hari kepulangan. Dan sangat senang karena tanpa sengaja bertemu lagi dengan polisi bandara yang membuatkan surat kehilangan saya.

Jadi, buat kalian yang akan bepergian ke luar negeri:
1.       Pertimbangkan kemungkinan terburuk dengan mempersiapkan: copy KK, copy Akta Lahir, copy Ijazah, copy paspor dan VISA, dan ekstra uang untuk jaga-jaga
2.       Gali informasi dengan detail mengenai transportasi, biaya transportasi, tempat wisata, bad case dan good case, dan informasi lain yang kalian perlukan. Bangkok bukan kota yang susah untuk yang baru pertama pergi ke Thailand. It was awesome to stay there along 5-7 days.
3.       Selalu catat alamat KBRI dan nomor teleponnya.

Insyaallah setelah ini akan ada posting tentang Bangkok trip saya, semoga bermanfaat.