Selasa, 27 Mei 2014

Sudah cukup.
Sepertinya perlu memberanikan diri untuk pergi sendirian, tanpa teman. Seperti yang dilakukan sahabat saya Damara, sendirian muncak ke Semeru. Lebih tepatnya meninggalkan rekannya di lereng gunung itu. Dia berhasil. Dia mencapai puncak berpasir itu, menangis haru di sana, dan turun dengan selamat.

Hanya niat, tekad bulat. Dan doa dari Ibu terkasih. Ya, saya sangat percaya doa dari lubuk hati Ibu adalah yang paling dekat dengan Maha Mengabulkan Permohonan, sebawel apapun beliau sehari - hari.

Kuncinya adalah jika berniat, nawaitu liburan, jalan - jalan, maka pikiran harus teduh. Tidak boleh ruwet, tidak boleh gampang loro ati karena niatnya memang mau bahagia. Mau mencari obat menghilangkan sakit yang namanya bosan. Mau enak tidak enak pengalamannya, hajar saja. Pikiran harus enteng supaya semua bisa terlewati dengan khusyuk dan memberikan pelajaran berharga.

Maka, setelah sampai di Juanda dini hari itu, di dalam mobil sahabat saya, Adrian, saya berpikir untuk memulai paling tidak sekali saja seumur hidup saya untuk solo travel. Mungkin bisa dimulai lewat exchange atau menyusuri eksotika alam Nusantara.

Bismillahil malikirrahmanirrahim, Bismillahi Majreha wa Mursaha inna Robbi la ghafururRohiim.

Senin, 26 Mei 2014

Kurang lebih dua jam, lampu - lampu Bangkok kembali menyapa. Hi again. Kami kembali ke Khaosan Road, meeting point kami pagi tadi. Di buku Agustinus Wibowo, pernah ia sebutkan bahwa ada tiga jalan dengan karakter yang sangat mirip di dunia: Jalan Legian di Kuta Bali, Indonesia; Khaosan di Bangkok, Thailand; dan Kathmandu di Nepal yang disebut dengan 3K backpacker trail.

Didi, teman Indonesia yang juga bekerja di Bangkok sudah menunggu di sebuah kafe di sana. Khaosan ramai seperti biasa, dipadati turis dari berbagai penjuru bumi. Kami berkumpul untuk makan malam bersama. Sejujurnya inilah yang paling menyenangkan, setelah badan pegel di perjalanan lalu duduk semeja bersama teman - teman, bercanda, makan malam, dan berbagi cerita, di jalan yang tidak pernah mati kehidupannya.

Saya menutup malam itu dengan berpamitan kepada mereka. Besok saya akan pulang ke Surabaya. Sampai jumpa lagi semuanya...



Malam itu belum berakhir, ada yang akan kami beli di Silom. Apa itu? Rahasia... Haha...

Massage di sebelah Bug & Bee Cafe di Silom adalah akhir dari hari panjang Rabu ini.

Minggu, 25 Mei 2014

Kembali turun ke sungai. Beberapa orang dari rombongan perjalanan kami tidak pergi ke elephant riding ground, mereka pergi ke Tiger Temple, di mana harimau disucikan dan dipelihara di tempat ibadah tersebut. Sekaligus menjadi daya tarik bagi pengunjung. Kami menunggu waktu kunjung mereka selesai. Itulah mengapa sekarang kaki - kaki kami berkubang di dalam air. Aliran sungai itu cukup tenang, tandanya dasar sungai cukup dalam di bawah sana.

Seneng loh seperti ini. Banget,

“Apa kalian sudah siap? Rombongan sudah lengkap?” tanya Bu Internet sambil mengawasi penumpang di dalam van. “Satu orang masi ke toilet.”
Sopir van yang mengantarkan kami dari Bangkok sedang bersama kelompok di Tiger Temple. Kali ini, seorang pria gemuk berwajah sama sekali tidak ramah berada di balik kemudi. Dia memakai topi bulat ciri khas hunter dengan wajah tidak sabaran. Benar, sama sekali tidak sabaran. Dia menekan klakson berkali – kali dengan kasar. Rombongan yang sedang ke toilet buru – buru melompat ke van. Si Bapak lupa mungkin kalau kami bayar.

Dia nyetir ugal – ugalan. Tujuan berikutnya adalah waterfall. Di kota asal saya, Magetan, air terjun juga menjadi tujuan wisata utama. Ketinggiannya kurang lebih lima puluh meter dengan udara sejuk khas pegunungan. Air terjun di Magetan terdapat di beberapa wilayah. Semuanya harus ditempuh dengan berjalan kaki berkilo meter, begitu sampai, dinginnya air melunturkan pegal – pegal yang mencengkeram kaki. Air terjun yang kami kunjungi adalah Erawan. Dari jalan utama, kami menuju ke jalan kecil dengan penunjuk arah air terjun berada. Beda dengan air terjun di Magetan yang harus menempuh medan naik turun agak terjal, kami hanya menempuh jalan setapak yang pendek. Lalu, inilah air terjun Erawan. Sedang kering… Iya… Iya yang kanan...

Erawan Waterfall

Saya terpana dengan air yang mengalir santai, terjun ke bawah menimbulkan riak - riak kecil. Genangan dibawahnya keruh, beberapa ikan tampak muncul di permukaan. Beberapa orang berenang tanpa mempedulikan kawanan ikan disekitarnya. "Jadi ini air terjunnya?" saya menyuarakan pertanyaan yang memenuhi kepala saya. "Iya," jawab Fandi yang juga sedang memperhatikan aliran air dengan keheranan. "Go to my hometown, I'll show you what waterfall is," saya menepuk bahunya seolah bilang, ada hal yang kadang tidak sesuai harapan bro... Benar kawan, ini salah satu pengalaman yang mendorong saya untuk mengeksplorasi wisata di tanah air dan menunjukkan apa yang kita punya sementara yang lain tidak.

Meski mengecewakan, saya memberi apresiasi bagi kebersihan kawasan wisata Air Terjun Erawan. Tidak ada sampah plastik yang sengaja dibuang tidak pada tempatnya. Penjual oleh - oleh dilokasikan di jalan masuk dan bukan berkeliaran di lokasi air terjun. Bahkan penujuk arah toiletnya pun keren:

To - i - lel! LOL!
Kunjungan di Erawan hanya berlangsung dua puluh menit. Si Bapak Tiri sudah menunggu di mobil. Kami dibawa ke Tiger Temple menjemput rombongan lain yang sedang di sana, dua orang dari Jerman. Sampai dilokasi, dia memarkir mobilnya dengan kasar. Penumpang di belakang terlonjak menabrak seat di depannya. "Jancuk!" umpat saya begitu menabrak seat di depan. Pengemudi paling tidak punya manner dan tidak menghormati tamu - tamunya. Dia mematikan mesin van dan keluar dari mobil begitu saja. Semoga dia satu - satunya orang di kota itu yang selera humornya dimusnahkan oleh Tuhan.

Sopir yang ramah tiba - tiba muncul di samping van kami, membukakan pintu untuk kami sambil bertanya apa yang terjadi dengan wajah sungkan. Saya hanya tersenyum. Kami pindah lagi ke mobilnya, menuju ke destinasi lain, menjemput satu lagi rombongan yang akan pulang ke Bangkok bersama kami. Baru seperempat jam di atas kendaraan, sopir meminggirkan mobilnya. Mesin tetap dinyalakan, dia pamit entah kemana. Dia bicara bahasa Thailand jadi saya tidak nyambung.

Setengah jam kemudian dia tidak kunjung kembali. Kami semua kebingungan. Sudah terlalu lama di dalam mobil di bawah terik matahari menuju sore. Seorang teman berinisiatif menelepon agen perjalanan menanyakan keberadaannya. Selang beberapa menit, agen menelepon balik dan menjelaskan bahwa si sopir sedang mencari tambal ban karena ban mobil kanan belakang bocor. Kami ber ooo... Saya yakin pendapat kami tentang sopir tadi sama: berusaha menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa memberitahu kliennya. Dia muncul beberapa saat kemudian sambil terburu - buru. Kami semua turun. Beberapa membantunya mengganti ban. Ya, beberapa. Sebagian lainnya termasuk saya sedang berteduh. Sebenarnya saya berinisiatif jadi umbrella girl dengan memayungi mereka yang sedang ngeban. Namun si Jerman bilang saya sebaiknya minggir, karena kecepatan kendaraan di jalan membahayakan. Daripada nanti terjadi hal - hal buruk.

By Fandi: ganbatte ya mas - mas.

 
By Fandi: Mbak, mimggir aja mbak daripada ketabrak.
 Akhirnya semua beres. Kami pulang setelah menjemput rombongan terakhir. Van senyap. Semua teler di seat masing - masing. Tinggal sopir baik hati berjuang. Semangat ya Pak e!





Senin, 19 Mei 2014

Bunyi rem lokomitif berdecit - decit mengukuhkan kerentaan rangkaian kereta itu di atas rel rapuh bikinan jaman penjajahan. Kereta terus melintas di sisi sungai Meaklong. Warna airnya hijau seperti tumbuhan di sekitarnya. Beberapa wahana outbound tampak di tepian sungai. Penumpang sibuk berfoto, menjulurkan kepala mereka dari jendela tanpa kaca. Kanchanaburi menawarkan alamnya sebagai tujuan wisata. Landscape - nya benar - benar mirip dengan Desa Parang Kabupaten Magetan, rumah Mbah Putri, namun dengan jumlah tumbuhan yang lebih rapat menutup perbukitannya.

Welcome to Kanchanaburi's nature

Perjalanan kurang dari satu jam. Saya, Fandi, dan Ara punya teman baru. Rizwan. Indonesian. Cerita memalukan dibalik perkenalan kami adalah begini: sebelum naik ke van di Khaosan Road, kami mampir ke Sevel. Ada seorang cowok (yang ternyata Rizwan) duduk di sebelah seat kami. Sepertinya orang Cina, atau orang Thai. Kegambrengan kami pun tidak terbendung. "Lo mau? Lucu tuh," Fandi memancing percakapan ngawur kami sambil melirik nakal ke arah Rizwan. "Mauuuuu!!!! Bagi sama lo ye," jawab saya dengan suara keras sambil ngakak. Kita pakai Bahasa karena yakin dia tidak paham. Begitu van melaju, cowok di sebelah saya tetap diam. Sepertinya dia pemalu. Saya berinisiatif membuka pembicaraan, "Where do you come from?" Dia menoleh sambil tersenyum ramah, "Indonesia, lo juga kan ya? Gue dari Jakarta." Seketika mata saya dan Fandi bertatapan, beku, bibir bergelombang menahan tawa. Namun tidak berhasil, badan kami berguncang. Sejurus kemudian kami tenggelam dalam tawa cekikian, antara menahan malu, geli, dan tengsin. Sekarang kita berteman baik. Duduk bersama dalam satu rombongan. Suasana mencair.

Suddenly besties
Kereta berhenti di Stasiun Wang Pho. Dan van sudah menjemput lagi membawa kami makan siang di sebuah tempat semacam warung. Next trip, adalah elephant riding. Lokasinya di tepian sungai yang kami lalui dengan kereta api tadi. Namun sebelumnya, kami diajak untuk bamboo rafting. Rombongan turun ke arah sungai, sudah ada rakit panjang menanti di sana. Oh, ini yang dimaksud bamboo rafting. Saya pikir, mereka salah memakai term. Atau saya yang memvisualisasikannya terlalu lebay. Rafting di otak saya adalah naik perahu karet melintasi bebatuan dan derasnya aliran sungai. Rafting di hadapan saya adalah sebuah rakit panjang dengan tiga gubuk kecil di tengahnya. Selama perjalanan penumpang duduk di bawah gubuk itu, atau boleh juga mengganggu pendayungnya, pinjam dayung lalu foto - foto di ujung rakit.

It is called rafting...
Sebuah perahu motor tiba - tiba mendekat dan mendahului rakit. Rakit saat itu berhenti, si pendayung malah duduk - duduk bersama kami di gubug. Hingga tiba - tiba rakit bergerak melawan arah, kembali ke arah starting point kami. Oh, damn! Perjalanan rafting aneh ini hanya sepurit. Rakit kami ditarik ke tempat bersandar lagi. Lalu kami diminta keluar dari rakit menuju kandang gajah. Gajah - gajah sudah menunggu untuk ditunggangi.

Super love this adventure

Seorang gadis kecil duduk di atas seekor gajah mini. Rambutnya merah terbakar matahari, kulitnya pun gelap. Kaos pink fanta yang ia pakai kontras dengan warna kulitnya. Dia tersenyum pada saya. Tangannya melambai - lambai mengajak saya naik ke gajah kecilnya. Satu gajah dua penumpang. Rizwan kali ini bersama saya, naik di gajah Si Neng. Neng, bukan Eneng panggilan Sunda. Huruf 'e' di namanya dibaca seperti dalam kata 'mengerti'. Dia mengendalikan gajah sambil sedikit berteriak. Agak kasar menurut saya. Saya juga sedikit terganggu dengan alat, entah itu untuk menghalau atau untuk merumput yang dicantol di telinga gajah kecil itu. Ada sedikit luka di pangkal atas daun telinganya, sepertinya karena goresan benda itu. Tidak berapa lama HP - nya berbunyi. Sekarang dia nyetir sambil bertelepon dengan seseorang. Anak SMP ini sepertinya sedang puber. Saya dan Rizwan hanya cekikikan membayangkan dia sedang bicara apa dengan yang di seberang saya? "Sayang, lagi apa? Sudah makan? Aku lagi angon gajah nih...,"


Si Neng dan sahabatnya

Gajah kami menaiki bukit kecil bersama kawanan gajah yang lain. Semuanya membawa turis. Fandi dan Ara bersama gajah yang lebih besar. Gajahnya mereka pipis dan membuat saya terperangah dengan 'size' - nya. Neng bicara dalam Bahasa Inggris pas - pasan. Menawarkan sovenir dengan harga tidak masuk akal. Kami menolaknya. Dia berusaha lagi, kali ini menawari saya foto bersama gajah. Sekali foto 100 Bath. Mentalnya benar - benar kapitalis. Sekali lagi saya jawab tidak. Saya tahu di setiap wahana semacam ini ada paparazzi. Saya memang berencana membeli foto darinya nanti.

Piknik di bawah pohon
Setelah berteduh dan membiarkan gajahnya merumput, kami kembali ke pemberhentian. Lagi - lagi ada anak laki - laki gundul meminta tip. Dia lari setelah membawa 15 Bath dari saya. Saya membeli foto berbingkai hasil karya paparazzi. Foto kami: saya, Rizwan, Neng, dan gajah kecil. Saya hadiahkan itu untuk Rizwan. Friendship forever. 

Sedikit di luar tema tamasya saya. Saya sempat bertanya - tanya waktu melihat meja penuh dengan pisang tidak jauh dari kandang gajah. Apakah si gajah dipelihara dengan baik? Apakah manusia yang memanfaatkan jasanya memberikan mereka 'gaji'? Seperti apa perawatannya? Tarif naik gajah cukup mahal. Hampir 500 Bath. Memandikan gajah bisa lebih dari 500 Bath. Saya juga penasaran, berapa kali masing - masing mengangkut penumpang? Sudah berapa tahun mereka melakukan ini? Si kecil yang saya tunggangi tadi, matanya terlihat sedih. Atau memang mata gajah sedih seperti itu? Entahlah. Saya berharap pemerintah Thailand memperhatikan kesejahteraan hewan yang terkenal di seantero jagad itu. Seperti kata Gandhi: Watak negara dapat dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan hewan yang hidup di wilayahnya. [4]

Minggu, 18 Mei 2014

Cukup kesal ketika sebuah keputusan terlontar dari suasana hati yang panas, kepala yang tertahan kejernihannya, dan kondisi tubuh yang kelelahan. Mungkin hanya itu satu - satunya yang saya sesalkan dari tidak hadirnya my beloved Tika ke rencana trip kami ke Kanchanaburi. But, that's fine. She decided, we accept...

Sebuah wilayah di Thailand yang berbatasan dengan Myanmar. Maksud saya, sisi geografis Myanmar yang ngelewer panjang di bagian barat Thailand. Saya menjernihkan pikiran saya yang setengah sadar karena mengantuk di taxi menuju Khaosan Road. Saya, Fandi, dan si pinoy cantik Ara bersama beberapa teman yang lain yang sudah di sana akan bersama - sama dalam satu perjalanan ke Kanchanaburi. Hanya dua jam perjalanan, bersama seorang driver yang ramah meski Bahasa Inggrisnya pas - pasan. Beliau berusaha ngobrol dengan tamunya, dan entah mengapa sangat bahagia karena membawa lima belas tamu. Maaf ya Pak, hanya empat belas tamu. Satu kursi kosong. Tidak beruntungkah karena angka empat belas itu nantinya?

Saya sebutkan bahwa Bangkok panas sekali. Jangan tanya bagaimana Kanchanaburi membakar setiap senti kulit di tubuh yang terlahir tanned ini. Panas banget! Baru jam sepuluh, udara yang masuk ke tenggorokan terasa panas mendidih. Lebih - lebih kondisi rongga mulut yang meradang, membuat saya semakin tidak nyaman bahkan hanya untuk bernafas dan menelan air minum. Tapi mari kesampingkan semua ini. Kembali pada maksud awal kemari, bersama - sama Fandi ke luar kota menikmati sisi barat Thailand. Biar saja angin panas menerpa wajah hingga kusam. Cuek saja dengan bau keringat yang bercampur di dalam van. Saya percaya Kanchanaburi akan membayar semuanya.

http://www.kittiraftkanchanaburi.com/images/main_1215677467/Kanchanaburi_Map.jpg

Cerita sedikit tentang Provinsi Kanchanaburi yang akan saya kunjungi, merupakan provinsi terbesar ketiga di Thailand. Ia juga merupakan salah satu wilayah Thailand yang berbatasan langsung dengan Myanmar. Kanchanaburi yang panas, menawarkan hamparan hijau gunung dan bukit. Sedikit ironis, ribuan pohon dan tumbuhan di sini gagal menepis hawa panas di lingkungannya. Ia juga menjadi saksi Perang Dunia II, ketika Jepang pada tahun 1942 sempat menduduki wilayah itu dan membangun jalur kereta api Thailand – Myanmar yang menewaskan ratusan ribu pekerja yang dikerahkan untuk menyelesaikan rel tersebut demi kepentingan perang. Kurang lebih sama dengan kisah penderitaan perang lainnya di belahan bumi Tuhan ini.

Destinasi pertama adalah taman makam pahlawan, War Cemeteries of Kanchanaburi. Saya tinggal di Surabaya yang juga disebut sebagai kota pahlawan. Hanya saja saya tidak pernah punya keinginan untuk berlibur ke pemakaman. Ya, memang Kanchanaburi adalah salah satu kota sejarah Perang Dunia II. Thailand tidak pernah benar - benar diduduki oleh negara manapun, hanya saja tetap mengalami dampak dari perang tersebut pada tahun 1942 – 1943 ketika Jepang menjadikan wilayah itu sebagai basis penghubung Thailand - Myanmar. Tentara yang dimakamkan di sini rata – rata adalah tentara asing. Saya tidak peduli kebangsaan mereka, namun ada perasaan ngilu menyeruak di dada ketika membaca usia meninggalnya mereka di papan nisan. Dua puluh tahun, sembilan belas tahun, pernahkah mereka menyesal tewas di peperangan atas nama membela tanah air? Atau,  mungkin seperti kata Sujiwo Tejo dalam bukunya, Lupa Endonesa Deui: mereka yang mati dalam peperangan adalah mereka yang tahu membalas budi pada tanah airnya.

War Cemeteries of Kanchanaburi


Dalam perjalanan, kami dipandu oleh seorang wanita dengan aksen kental khas Thailand, dia mengaku asli Kanchanaburi. Dia cukup serius selama membimbing perjalanan kami. Keseriusannya sedikit rusak ketika saya tidak tahan menertawakannya, karena menukar kata interest menjadi internet. "If you internet to go to elephant's bathing; pay 500 Bath. If you don't internet, that's okay." Dan, seorang turis Indonesia bernama Dianti sedang tertawa terbahak - bahak di dalam hati.

Tujuan berikutnya adalah Death Railway dan JEATH War Museum. Letaknya berada dalam satu komplek. Dari musium, saya bisa menengok ke arah Maeklong River dan Death Railway tampak jelas dari situ. Biasanya disebut dengan Bridge of River Kwai. Sekilas tentang jalur kereta api Thailand - Myanmar ini, dibangun sejak tahun 1942 dengan deadline selesai pembangunan bulan Agustus 1943. Jalur ini akan dipergunakan Jepang membawa ribuan ton logistik dari Thailand ke Myanmar dan sebaliknya. Demi menyelesaikan jalur sepanjang 250 mil tersebut, lebih dari enam belas ribu tahanan perang dikerahkan, seratus ribu buruh dipekerjakan dari keturunan Cina, India Selatan, Malaysia, Myanmar, Jepang, Hindia Belanda, dan Eurasia. Bahkan antara tahun 1942 - 1945, tiga puluh ribu tahanan perang dari Inggris, delapan belas ribu tahanan perang dari Belanda, tiga belas ribu tahanan perang dari Australia, dan tujuh ratus tahanan perang dari Amerika dipindahkan dari Indonesia ke Thailand dan Myanmar untuk menyelesaikan proyek tersebut.

Bridge of River Kwai dari JEATH Museum

Musium itu sepi, mungkin karena saya datang saat week days. Seperti halnya musium perang, dengan peninggalan sejarahnya, setiap ruangan terasa creepy. Ada aura sedih yang membuat saya sungkan berlama - lama di sana. Saya paling tidak tahan memperhatikan gerbong tua yang diletakkan di taman tepat di tengah bangunan. Di dalam gerbong itu terdapat patung dengan raut wajah sengsara. Saya tidak mendokumentasikannya, takut terbayang - bayang.


Cuaca panas mengerikan di atas jembatan kereta api. Sebenarnya kami bisa melintasi jalur tersebut seperti di Ambarawa. Hanya saja, waktu kunjung kelompok saya habis. Kami kembali ke van menuju destinasi berikutnya. Saya juga tidak tahan dengan angin panas yang semakin parah mendekati pukul dua belas siang.

Kami dibawa ke sebuah stasiun kecil disebut Thakilen. Akan ada kereta yang membawa para turis ke tempat rafting dan wisata menunggang gajah. Harga tiketnya 100 Bath. Ada juga tiket spesial, dengan membayar 150 Bath, turis mendapat servis air mineral, cola, tissue basah, dan sertifikat selama kereta tua itu melaju. Yes, sertifikat, yang sayangnya tidak bisa dipakai melamar kerja. Saya tergelitik membahas keseriusan Thailand merawat tempat wisatanya. Bahkan di tempat yang jauh dari ibu kota, stasiun ini terawat dengan baik. Cuaca memang panas, namun siapa yang tidak bersemangat naik kereta tua Thailand (yag kondisinya mirip kereta api ekonomi kita beberapa tahun lalu). Saya suka tiket keretanya dicetak di atas kertas tebal dengan sekilas sejarah jalur kereta api Thailand - Myanmar.

Thakilen Railway Station


Kereta api muncul dari kejauhan, calon penumpang diminta mundur sampai garis batas aman. Kereta spesial kami, adalah kereta tua tanpa pelindung kaca. Kepala para penumpang bisa leluasa mecungul ke luar jendela. Petugas kereta api dengan ramah menyodorkan pesanan kami. Cola, air mineral, dan tissue basah tersedia di hadapan masing - masing.

Special Ticket Price Service

Terakhir, petugas kembali menghampiri kami dan membagikan sertifikat. Oh, w.o.w! Kami benar - benar mendapatkan sertifikat dari perjalanan di atas kereta ini.

Certificate for Special Ticket Price

Guider kami muncul dari gerbong lain. Dia menyebutkan setelah ini akan ada pemandangan menarik, yaitu ketika kereta melewati jembatan dan berjalan pelan - pelan. Beberapa menit kemudian kereta pun mulai memperlambat lajunya. Dan, inilah yang dibayarkan Kanchanaburi kepada kami:

Green heaven around the train track


[3]

Sabtu, 17 Mei 2014

This is the birthday boy...
My beloved sibling Fandi. Love you to the moon and back, back to Pluto... :p



He always be my reason why I go to Bangkok. He said that I annually visit Bangkok as if I do umroh. And it's now special because he has birthday party.

It was great and friendly eve we spent in Ron and Yokly's apartment. Yeah, it was awesome... Hahahaha!



Have a great 24th life ahead Tama Timi :*
Be my bro forever...
Bangkok panas!
Tidak tahu berapa suhu siang ini. Kulit rasanya terbakar. Kami berjalan menyusuri soi menuju jalan utama. Kami akan ke Platinum Mall hari ini. Mencincang isi dompet, lalu mencaci maki diri sendiri jika over budget. Haha, what a life…



Kami berhenti di depan gerobak makanan. Awalnya saya tidak tahu dia jualan apa. Ternyata jual Pad Thai. Mie gorengThai kalau saya yang menyebut. Kami duduk di bawah payung menunggu si ibu memasak. Bedanya dengan tukang mie gerobak di Indonesia, dia memasak Pad Thai satu per satu. Menunggunya bikin lapar berlipat – lipat saking lamanya. Mie dengan campuran sayur dan udang. Saya suka tempat makan di Thai selalu meletakkan bubuk cabe di atas mejanya. Dia adalah pacar bagi lidah – lidah pecinta pedas. Pecinta pedas, bukan pecinta makanan super pedas.


 Selesai makan, kami meneruskan misi ke Platinum Mall dengan taxi. Lalu berhenti di Bangkok Train Station (BTS) terdekat di  Chong Nonsi. BTS Chong Nonsi berada di line Silom. Sedangkan BTS terdekat dengan Platinum Mall adalah Ratchathewi yang merupakan bagian dari line Shukumvit. Harus diakui Bangkok memiliki sistem transportasi yang tourist friendly. Saya ingat pertama kali saya ke Bangkok, saya tidak pernah takut nyasar. Di setiap BTS kita bisa menemukan peta gratis. Jalur BTS juga terpampang di stasiun bahkan di tiket perjalanannya. Well, I'm so envy with this system. If I have this in Surabaya, I'm sure I will go everywhere with public transportation. BT adalah transportasi umum yang nyaman, ber - AC, dengan pemberitahuan pemberhentian yang cukup jelas. Serta, didukung oleh toleransi penduduk lokal yang ramah, pengertian, dan tidak semaunya sendiri, menjadikan kereta yang melintasi tengah kota Bangkok ini efektif dalam fungsinya. Good...
http://www.davestravelcorner.com/images/guides/bangkok/photos/BTS-map.jpg
Turun di Ratchathewi menuju Platinum berarti melewati Kedutaan Besar Republik Indonesia. Lagi - lagi teringat rekosone mengurus kehilangan paspor tahun lalu. Cuacanya panas mampus. Entah apakah Bangkok selalu begini. Kerongkongan gampang kering saking panasnya. Di sepanjang jalan menuju Platinum Mall, ada para pedagang kaki lima yang menghabiskan space trotoar namun menjamin pejalan kaki tidak kelaparan di perjalanan. Mereka ada hampir di sepanjang jalan.

Platinum Mall, bisa disimak di sini adalah salah satu pusat belanja grosir terkenal di Bangkok. Mall ini menyedot perhatian turis, warga lokal, bahkan distributor baju yang sengaja datang ke Bangkok untuk menjualnya kembali, atau bahkan menduplikasi ketika sampai di negaranya. Hal yang menarik di sini, juga di pusat perbelanjaan lain di Bangkok adalah mereka menjual barang dengan spesifikasi tertentu di setiap toko. Jual kemeja saja, jual baju sablon saja, jual baju warna coklat saja, bukan campur - campur dan memusingkan. Di sini adalah petakanya shopaholic yang hanya bawa uang pas - pasan. I've been there...

Oh ya, apa yang paling menyebalkan di Bangkok. Menurut Tika: supir tuk - tuk. Menurut saya: supir taxi yang hobi menolak penumpang. Saya cerita dulu soal supir taxi. Mereka biasanya tidak mau membawa penumpang dengan argo di jam - jam macet. Biasanya dengan tawar - menawar. Itu yang kami alami di Platinum Mall. Selesai belanja jam 6 sore, dengan betis mau meletus. Kami sudah tidak sanggup berjalan ke BTS Ratchathewi lagi. Kami mencari taxi menuju Siam Center, dari BTS Siam kami akan lanjut ke BTS Chon Nonsi, menuju pesta ulang tahun Mister Fandi the Conqueror di Marriot the Empire Place. Siam Center sebenarnya hanya terpisah satu blok di belakang Platinum Mall, namun supir taxi nyolot, tanpa argo harganya bisa berlipat. Hingga akhirnya dia oke dengan 70 Bath, bukan taxi yang membawa kali me Siam Center, tapi tuk - tuk. Gaya nyetirnya seperti sedang naik Ferrari. Dua hal yang menyebalkan di Bangkok: supir tuk - tuk rasa Ferrari dan supir taxi di jam macet. [2]

Suffering face