Rabu, 17 Februari 2016

Adzan Dhuhur menggema di penjuru bandara, sesaat setelah melalui pintu imigrasi. Perjalanan bersama orang tuaku dimulai siang ini, setelah melewati transit yang kelewatan lamanya, berpindah dari Jogja, ke Makassar, ke Medan, akhirnya tibalah di Jeddah.

Pemandangan khas gurun pasir yang terang, berwarna cokelat dan putih, serta bidang – bidang pegunungan batu membatas di berbagai sudut kota. Namun kekayaan negeri gersang ini sudah terasa di lembutnya perjalanan 6 jam menuju Madinah, melalui karpet aspal tanpa bolong.

Lewat waktu Isya’, kami memasuki tanah haram kota Madinah. Ditandai dengan tugu yang jika dari Jeddah, terlihat di sisi kanan tak jauh dari Masjid Bir Ali, tempat Rasulullah pernah mengambil miqot. Mataku tentu menjelajah selayaknya pendatang baru, mengamati payung – payung besar Masjid Nabawi yang selalu dikisahkan orang – orang yang baru pulang berhaji. Udara dingin, membuat para jamaah menggigil. Itulah mengapa sebaiknya jamaah sepuh diberitahukan perkiraan cuaca sebelum berangkat. Jangan hanya sebut dingin, namun sebutlah suhunya, serta ibaratkan akan sedingin apa.

Subuh hari tentu cobaan bagi mereka yang tak bersiap dengan cuaca ekstrim ala padang pasir. Namun demi dapat shalat di dalam Masjid Nabawi, siapapun akan bersemangat berangkat lebih dini ketimbang yang lain. Adzan pukul 4 pagi, jamaah memanfaatkan waktunya untuk shalat malam. Menjelang Subuh, masjid mulai sesak. Hari pertamaku di Nabawi habis untuk mengamati keindahan interior yang sarat polesan emas, lampu gantung besar, dan ceiling bernuansa kuning dan abu.

Petugas kebersihan mulai sibuk mengelap lantai yang basah oleh air zamzam yang mungkin tumpah, atau dipakai berwudhu jamaah. Teriakan laskar meminta jamaah mengisi shaf yang kosong terdengar lantang sebelum shalat dimulai.


Iqama berkumandang, seluruh jamaah berdiri. Menundukkan padangan, melafal niat shalat fardunya. Takbirratul ihram... Dan air mata mengalir perlahan, mendengarkan bacaan shalat yang bersahutan dengan tangis para bayi yang ditinggal sembahyang ibunya.
First visit to Nabawi Mosque

Minggu, 18 Oktober 2015

Perhatikan sekitar kita, Tuhan sering kali menyampaikan pesan implisit yang dititipkan entah kepada makhluk lain atau peristiwa.

Sebuah perayaan hari jadi berlangsung di Universitas Surya Tangerang. Saya hadir karena ditugasi meliput murid yang menerima beasiswa JPNN dari Pak Dahlan Iskan.

Saya kesana tanpa camera man. Seorang diri hanya ditemani sopir dan saya saat itu, sampai sekarang belum bisa multitasking sebagai VJ, mewawancara dan mengoperasikan kamera.

Disitulah pertama kali saya bertemu Ibu Siti Rahmi Utami. Seorang Dekan Fakultas Sosial dan Ekonomi. Saya tipe orang kagetan, yang gampang takjub dengan penampilan seseorang. Begitu juga saat bertemu ibu satu ini, awalnya saya memperhatikan kekurangan fisiknya. Berkursi roda. Kondisinya tidak memungkinkan semua hal ia kerjakan dengan mandiri.

Perspektif saya sirna seketika saat Ibu Tanti, seorang dosen komunikasi yang saya kenal di sana bercerita, disertasi yang dibuat mengantarkan Ibu Siti mendapat gelar best student saat bersekolah di Maastricht School of Management. Penghargaan diserahkan langsung oleh Queen Maxima.

"Saya takut salah omong dikira sombong, Mbak. Wawancara saya tadi tidak terkesan sombong kan?" begitulah. Kerendahan hatinya membuatnya hati - hati sekali bicara soal prestasi.

"Lulus doktor itu sulit sekali Mbak. Jadi saya tidak berharap best student waktu itu. Saya hanya berharap lulus doktor saja sudah cukup. Nggak perlu yang lain - lain."

Dorongan dari keluarga, membuat Ibu Siti semangat bersekolah. Beliau menyadari dengan pendidikan orang berkursi roda sepertinya akan lebih bermanfaat kepada orang banyak. Melalui ilmu dan penelitian.

Secara pribadi,  beliau menorehkan hikmah begitu mendalam. Bahwa apapun yang dipelajari harus dilakukan dengan sungguh - sungguh. Kekurangan fisik bukan hambatan. Pola pikir kita dalam melihat sesuatu lah, yang kerap menjadi dinding penghalang kita menuju akses pengetahuan baru.

Jumat, 16 Oktober 2015

"Mbak, kalau nanti tayang tolong jangan sebut dengan lengkap lokasi kami ya. Besok pasti ada orang buang anjing di depan shelter saya, hahaha...!"

Saya bercakap dengan dokter Susan melalui telepon sore itu. Keesokan harinya saya berkunjung ke rumah penampungan anjing milik beliau di Pejaten. Sesuai permohonannya, silakan cari sendiri alamatnya. Tanggung jawab saya adalah tidak menyebut di sini.

Betul. Dokter Susan. Bukan seorang dokter hewan. Beliau adalah kepala rumah sakit di Bandung. Rasa kasih kepada hewan yang ditelantarkan membuatnya mengumpulkan donasi bersama teman - teman yang lain. Mulanya, untuk membuat sebuah kandang untuk sepuluh ekor anjing. Sekarang, ada 500 ekor anjing yang dirawatnya.

Di antara anjing - anjing di Rumah Penampungan Hewan

"Semua anjing di sini pasti kisahnya kasihan Mbak. Nggak ada yang spesial, sama saja. Semua kasihan." Begitulah ketika saya minta beliau bercerita bagaimana anjing - anjing itu diangkut dari jalan.

Beberapa diselamatkan dari penjagalan. Yang lain, ditinggal begitu saja di jalanan. Tahu apa sebabnya?

Dokter Susan menyebut, sebab utama sudah jelas masalah ekonomi. Bisa jadi pemilik pindah ke rumah yang lebih kecil. Atau secara finansial mengalami penurunan. Sehingga tidak mampu untuk memberi makan peliharaannya.

Sebab lain. Hewan peliharaannya dibiarkan beranak - pinak, tanpa menyadari pegeluaran untuk merawat semakin tinggi.

Pitbull

Ledakan populasi anjing dan kucing, menurut dokter Susan terjadi karena pembiakan untuk kebutuhan pasar, dan ketidakpahaman pemilik hewan tentang pentingnya sterilisasi. Coba bayangkan, jika kucing atau anjing milik anda beranak dengan jumlah yang membuat kewalahan majikannya, tentu tindakan selanjutnya adalah menawarkan kepada adopter agar mau membantu merawat beberapa anaknya bukan? Kalau tidak ketemu adopter? Buang dijalan.

Sedangkan breeder atau pembiak, biasanya menarget hewannya mampu berkembang biak setelah usia enam bulan. Jika tidak bisa beranak? Atau sudah tidak produktif? Hewan - hewan itu akan berakhir di jalan atau jagal lapo.

Dokter Susan berharap, edukasi kepada masyarakat tentang sterilisasi hewan bisa lebih ditingkatkan. Sterilisasi memang mahal, hanya saja itu adalah satu - satunya cara agar populasi hewan piaraan terkendali dan mereka bisa hidup lebih baik. Sedangkan harga yang mahal tadi, bisa disiasati dengan penggalangan dana oleh dokter hewan, rescuer, atau siapa saja agar bisa dilakukan sterilisasi masal bagi hewan rumahan.

Baik anjing dan kucing adalah hewan yang mengalami domestikasi. Tanpa  pertolongan manusia, mereka tidak akan bisa menghidupi dirinya sendiri. Mereka akan mengais atau meminta makan karena kemampuan berburu mereka telah dikerdilkan berabad lalu, untuk kepentingan manusia.

Mengasihi makhluk Tuhan lain adalah wujud sejati manusia sebagai penghuni di planet ini.

Belajar menyayangi dari mereka



Selasa, 13 Oktober 2015


Mati suri entah keberapa kali.

Aku pikir menjadi wartawan akan memeriku banyak ruang untuk terus menulis di blog. Sebelumnya aku berbangga hati bisa ajeg menulis setiap bulan. Tapi ternyata tidak! Setiap hari turun ke lapangan membuat prioritas bergeser jauh.

Hari ini, aku mendapat spirit supply dari salah satu produser. "Kamu kalau suka menulis harus dijaga. Biar tetap berkembang dan nggak lupa rasanya."

Aku harap, aku akan lebih beruntung untuk tidak melupakan rasa yang pernah ada... :D

Aku juga ingin ucapkan Selamat Tahun Baru Islam bagi saudara muslimin muslimat di manapun berada. Semoga kita menjadi umat yang lebih baik. Bertuhan tanpa mengafirkan yang lain. Berbuat baik tanpa memburukkan yang lain. Mengasihi dan tidak memusuhi. Jangan lupa rasanya... mencintai agama dengan rendah hati.

Selasa, 21 Juli 2015

I shifted to Jakarta. I thought everything is better unspoken, but silently reach to Him.
There was a particular day, I woke up and suddenly I wanted to pack my stuffs while thinking, “I need to move from Surabaya”. I found myself grew slower, while my closest friends re on their way to pursue their life plan. I will be miserably alone.

Practically, I enjoyed one year full of trip after resignation from my former working place. I stopped after Dad was hospitalized. I should start my study plan, but I decided another working experience. In the end, I knew I had to move.


Here, I throw all prediction and probability. I come to know that whatever we tried so hard to plan our life, His plan is always much better in the end. Or wherever He drags me to be, that’s where I should be. Calmer!

Jumat, 19 Juni 2015

Kalau kata Sujiwo Tedjo, aku ini utang rasa, sama mbah2 sepuh yang jual nasi pecel di deket kos.

Puasa tahun lalu, beliau meletakkan racikan pecelnya: sayur rebus, mie, kering tempe, sambal, dan kerupuk di tempat seadanya. Sebutlah jorok, karena memang begitu. Rebusan sayurnya biasanya tanpa sengaja ada ekstrak rambut sehelai di antaranya. Hecinya tak berbentuk, malah wujudnya mirip adonan tepung dipaksa masuk penggorengan. Tapi jangan salah, rasanya enak. Peyeknya hancur, tapi enak juga. Aku yakin dulu dia jago soal masak - memasak.

Duduk diam menanti pembeli sambil ngantuk - ngantuk. Fisiknya sendiri sudah kelihatan nggak capable buat gerak cepat. Perawakan beliau kecil, agak membungkuk, dan wajahnya kuyu. Aku yakin pembeli yang ke situ, kalau nggak malas jalan jauh ke warung lain, ya iba sama beliau. Aku golongan yang disebut belakangan, dengan beberapa persen faktor yang disebut pertama.

"Beli apa, Dik?" sapanya dengan suara berat, sambil tangannya meraih kertas minyak, saking tidak fleksibelnya, kertasnya lecek. Kadang diambilnya sambil dibumbui sapuan tangan ke lidah dahulu. Megang sendoknya kaku. Nggak jarang lauknya kececeran. Karena tangannya gemetaran. Beliau menyendok racikan pecel satu demi satu dengan susah payah. Wah, luar biasa rasanya, haru biru kalau nonton effort-nya. Sementara yang mengantri di belakang dengan penuh sabar menunggu Si Mbah menyelesaikan tugasnya. Bagus kan, buat melatih kesabaran.

"Berapa Mbah Ti?"
Beliau diam sejenak. Lalu menyebut nominal yang nggak masuk akal murahnya. Surabaya hari gini, dia jual nasi pecelnya Rp 3,500,00. Sudah isi heci sama peyrk. Kalau aku paksa - paksain beli peyeknya seplastik pun, atau upgrade lauk ke telur kecap, paling banter Rp 5,000,00. Wah, ini alasan ketiga orang mau beli di warung beliau, murah...

Dua kali, beliau pernah spontan cerita. Kalau anaknya kerja di Sumatra, lalu satunya di Telkom. Aku nggak menduga - duga namun sepertinya, beliau tetap jualan karena memang itu sudah pekerjaannya sejak lama. Aku positive thinking pasti anaknya menafkahi beliau juga. Aku nggak tahu sudah sejak kapan. Namun, puasa tahun ini, warungnya sudah dikelola salah satu anaknya.

"Monggo," Si Mbah tetap di situ kok, menunggui tanpa sedikitpun mengganggu anaknya melayani pelanggan. Nggak power syndrome deh bahasa ribetnya. Si Ibu, anak Si Mbah, ramah wajahnya, jualan dengan lebih set set settt, bersih, dan dengan servis yang upgrade begini, sudah tentu harganya bersaing dengan warung - warung lain.

Ada rasa nyess, setiap ingat Si Mbah dulu. Figurnya waktu jualan, waktu menumpahkan racikan, waktu mengambil kertas. Sepuh begitu masih ikhtiar kepada Tuhan, ikrar cari nafkah tanpa ngemis. Yang muda begini kalau letoy ya perlu dijambak ya.

Overall matur suwun Mbah. Semoga panjang umur. Si Mbah sudah mengajari aku arti ngeyel yang sebenarnya. Moga berkah, disayang Allah hidup saat ini dan hidup berikutnya.

Rabu, 20 Mei 2015

Shanghai.

Setelah membeku di depan Starbucks kurang lebih sejam - karena nggak punya peta, sampailah aku di kasur sewaan tercinta. Hotel tempatku menginap tinggal ngglundung kalau mau ke the Bund. Namanya Hanting Hotel Express. Alamatnya di Huang Pu Road. Letaknya di pinggir sungai Huang Pu. Alasan menginap di situ: murah dan ada view ke arah sungai. Sampai di sana, kamarku ternyata nggak punya jendela. Fasilitas hotel cukup nyaman, harga sewa 189 RMB, plus setiap hari bertebaran mini card iklan prostitusi macam ini di bawah pintu:

Iklan prostitusi

Rutinitas selama di sana: bangun tidur tanpa mandi, ke family mart beli mian bao sama air putih atau kopi (karena itu yang paling murah), lalu ke pinggir Huang Pu, alias Sungai Kuning yang mendunia itu. Nongkrong bersama ratusan orang melihat lalu - lalang kapal di sungai yang entah berapa kedalamannya. Rupanya, maqom-nya sungai ini memang untuk jalur lalu lintas air yang padat sejak dahulu.



Berkabut tipis sore itu

Di hadapan sana membentang wallpaper asli karya anak bangsa negeri Tiongkok, ikon kebanggaan Shanghai: Oriental Pearl TV Tower.

Aku nggak pernah mendekat ke sana, bahkan hingga di hari terakhir aku tinggal di sana. Sekalipun tidak pernah. Beberapa hal memang lebih indah dinikmati dari kejauhan. Seperti beberapa hal lebih menyenangkan disaksikan daripada difoto.


Bukan Perjuangan

Jika bicara Shanghai denganku, pengetahuanku hanya sebatas area hotel itu. Pinggiran Sungai Huang, patung banteng seperi halnya yang ada di Wall Street, jalanan di Nanjing road yang dipenuhi bangunan tua bergaya Eropa, pemandangan jalanan yang bersih tanpa sampah. Bonusnya, setiap hari ada pemandangan calon pengantin mengambil prewed photo di situ dengan gagah berani memakai gaun sleeve-less di tengah suhu 8 derajat. Apalah aku ini, yang pegang es batu pun langsung pilek. :(

Hyatt the Bund, hotelku kecil di sebelahnya

Shanghai adalah salah satu kota dengan fasilitas transportasi yang hao de! Wujud suksesnya Cina dalam membangun fasilitas publik. Subway tersedia dengan jalur yang padat menghubungkan seluruh area di kota itu, dengan modal jalan kaki dan koin, serta semangat kuat tanpa takut kaki pegal - pegal, insyaAllah seluruh kota ini bisa dijelajah dengan nyaman.


Sore itu