Rabu, 20 Mei 2015

Shanghai.

Setelah membeku di depan Starbucks kurang lebih sejam - karena nggak punya peta, sampailah aku di kasur sewaan tercinta. Hotel tempatku menginap tinggal ngglundung kalau mau ke the Bund. Namanya Hanting Hotel Express. Alamatnya di Huang Pu Road. Letaknya di pinggir sungai Huang Pu. Alasan menginap di situ: murah dan ada view ke arah sungai. Sampai di sana, kamarku ternyata nggak punya jendela. Fasilitas hotel cukup nyaman, harga sewa 189 RMB, plus setiap hari bertebaran mini card iklan prostitusi macam ini di bawah pintu:

Iklan prostitusi

Rutinitas selama di sana: bangun tidur tanpa mandi, ke family mart beli mian bao sama air putih atau kopi (karena itu yang paling murah), lalu ke pinggir Huang Pu, alias Sungai Kuning yang mendunia itu. Nongkrong bersama ratusan orang melihat lalu - lalang kapal di sungai yang entah berapa kedalamannya. Rupanya, maqom-nya sungai ini memang untuk jalur lalu lintas air yang padat sejak dahulu.



Berkabut tipis sore itu

Di hadapan sana membentang wallpaper asli karya anak bangsa negeri Tiongkok, ikon kebanggaan Shanghai: Oriental Pearl TV Tower.

Aku nggak pernah mendekat ke sana, bahkan hingga di hari terakhir aku tinggal di sana. Sekalipun tidak pernah. Beberapa hal memang lebih indah dinikmati dari kejauhan. Seperti beberapa hal lebih menyenangkan disaksikan daripada difoto.


Bukan Perjuangan

Jika bicara Shanghai denganku, pengetahuanku hanya sebatas area hotel itu. Pinggiran Sungai Huang, patung banteng seperi halnya yang ada di Wall Street, jalanan di Nanjing road yang dipenuhi bangunan tua bergaya Eropa, pemandangan jalanan yang bersih tanpa sampah. Bonusnya, setiap hari ada pemandangan calon pengantin mengambil prewed photo di situ dengan gagah berani memakai gaun sleeve-less di tengah suhu 8 derajat. Apalah aku ini, yang pegang es batu pun langsung pilek. :(

Hyatt the Bund, hotelku kecil di sebelahnya

Shanghai adalah salah satu kota dengan fasilitas transportasi yang hao de! Wujud suksesnya Cina dalam membangun fasilitas publik. Subway tersedia dengan jalur yang padat menghubungkan seluruh area di kota itu, dengan modal jalan kaki dan koin, serta semangat kuat tanpa takut kaki pegal - pegal, insyaAllah seluruh kota ini bisa dijelajah dengan nyaman.


Sore itu

When I was a child, I used to pray with both eyes closed, my lower jaw locked the upper, and my hands drifted in the air. I did that whenever I wanted something. I played kite, I needed the wind to come so my kite could fly, I closed my eyes tightly until I felt the wind touched my ears.

When I was in exam, because Mom wanted me to be in first rank, I studied like crazy. I woke up at 4 in the morning everyday, turned on my lamp and study. Along with that I wishpered to God: God let me get 100, I want 100, I didn't want to have any mistakes. Then when I again study for exam in the class, I sat on teacher chair and opened up my teacher's book, it was a class daily book anyway. There were few numbers in that book marked with pen, so I read only that innocently. Then, that was the question mentioned in exam. I got 100 after reading it.

Do you think I am lucky?
I was thinking I was a lucky bastard until I read Supernova book. That was the way God speaks in childhood. He was so close and he was really everywhere. In childhood, spoke something to Him wasn't a big deal. Yet, as time goes by, I was too busy about life, distance appeared, and talking to Him is a hard work. For some times, we tried to rethinking about His existance, or redefine our belief.

In childhood, whatever we wanted, we spoke to Him with pure heart like we spoke to Dad and Mom. Or sometimes, because we knew that we couldn't ask it to our parents, then they said, "Ask God".

But it makes God so close. A child never worry about life, unlike adult. Now, when I reach maturity, I came to know that sometimes I worried so much about life. About my purpose, about my track. Was that correct, was that true. How if I failed. How if what I have chosen points me to the wrong way?

My friend said that it was a quarter life crises. When we try to figure out what we have done to our life so far. About value and purpose. About decision. It comes so far into jealousy of people who can be free, without any family reputation responsibility. Having lots of adventure. Having a great job. Creating their own dream.

Now, it is the right time to come back, to childhood view point. For this case, it is a must for me, to use my purity in communicating to Him. Redefine my self, not the God. Make everything smaller about Him getting bigger. His existance is not human business, but human relations towards Him is a business for all in personal space. 

But by writing it here, at least I get a better place to speak...,
to God.

Taken at Sarangan Lake, Magetan, Indonesia. Lovely home.

Selasa, 12 Mei 2015

Assalamuallaikum,
Cina bukan negara yang berada dalam wish list of me, hanya saja beberapa rencana di dalam hidup kita sering kali nggak lebih seru dari rencana Tuhan. Bisa kubayangkan Dia mencoret rencana - rencanaku sambil bilang, " Dasar nggak asyik!" Hahaha, don't be so sensitive, me and Him have private space to share.

Pagi hari pukul 5.30 bangun pagiku dihadiahi pemandangan made in Allah in China, pendar cahaya matahari di kaki langit, Ni Hao Shanghai. Aku menuruni tangga pesawat dengan jaket seadanya, kedinginan sambil menggendong backpack. Pipi rasanya dijejalkan ke dalam freezer. Suhu pagi ini 8 derajat, what an unlucky tropical creature I am. Aku lebih suka megap - megap kepanasan daripada sekuat tenaga menahan dingin dan sibuk ngelap ingus pakai ujung jaket

My 15 hours exhausted look and my tiny outfit
I LOVE THIS CITY!

Shanghai adalah cermin keseriusan pemerintah negeri ini mewujudkan model transportasi yang efisien. Mereka punya subway, maglev, shuttle bus, yang semuanya bermuara di Pudong Airport. Dari ketiganya, aku pilih maglev. Alasannya, AKU LELAH DENGAN SEMUA INI! AKU MAU CEPAT SAMPAI HOTEL LALU TIDUR!!! :D

Aku menunggu dengan sabar di depan loket yang masih tutup, demi bisa merasakan naik kereta dengan kecepatan kurang lebih 400 km/jam menghubungkan Shanghai Pudong International Airport sampai Longyang Road station (jalurnya masih dalam pembangunan). Harga tiket sekali jalan 50 RMB. Diskon 10 RMB bagi yang menunjukkan waktu penerbangan di hari yang sama dengan pembelian tiket. Butuh hanya 8 menit untuk sampai ke stasiun terakhir, memuaskan bagi yang perhitungan soal waktu.
Loketnya belum buka
Waiting room masih sepi
Perjalanan dengan Maglev berhenti di Longyang Road station, kemudian harus lanjut dengan subway atau metro menuju tengah kota, dengan harga tiket yang lebih murah. Dari Pudong airport, kita bisa langsung naik subway LINE 2 (hijau muda) yang menghubungkannya ke Hongqiao airport. Nantinya, penumpang yang naik menuju tengah kota harus ganti Metro LINE 2 di rel sebelahnya setelah sampai di Guanglan Road station.


Maglev


Sempetin!