Kamis, 12 Agustus 2010

Sekelumit cerita menggelikan...

Beberapa waktu lalu aku pergi ke Jogja bersama salah satu temanku, Muti. Alasannya, aku pengen ketemu semua teman – temanku Puta, Anggi, Sasa. Ternyata sama saja denganku, yang lain terjerembab dalam kesibukan kalau sudah ngomong soal kampus. Sepertinya aku harus terbiasa dengan keadaan seperti itu, yang mungkin akan lebih sering aku temui di kehidupan – kehidupan berikutnya. Jadi, aku hanya bertemu the only one Puta di sana.

Malam pertama kami datang, Puta disibukkan dengan les Bahasa Inggrisnya yang lagi dalam tahap ujian. Dengan serba nekad Puta merelakan Beat-nya dikendarai dua manusia buta arah yang mencoba mencari hiburan di Malioboro, dengan berbekal peta yang digambarnya di tissue Yogchick.

So, hanya satu saja bekalku, bismillahirahmanirrahim.
Kami tiba dengan selamat meskipun pulang dengan penuh cobaan. Ketololanku teruji ketika di lampu merah aku menanyai keluarga yang sedang berhenti di sisi kiriku.
”Bu, Kaliurang itu jalannya ke mana?” dengan mimik penuh tanda tanya, yang melebihi mimik mukaku yang lagi bingung, ibu itu menjelaskan arah yang aku tanyakan. Sedikit janggal ketika si ibu menyebut RS Jiwa. Nah, lo, pasti dikiranya aku malem – malem mau klayapan ke Kaliurang, trus check in bareng cowok, dan threesome di sana dengan partnerku yang notabene seekor perempuan yang sedang duduk di sadel belakangku. Akan lebih aman kalau tadi aku nanya arah ke Yonif saja.

Ketololan kedua terjadi di Trans Jogja keesokan harinya. Setelah menerima kenyataan kraton tutup jam setengah dua, kami segera mbecak pulang dengan kepiluan yang mendalam (viva hiperbola...). Kami masuk ke shalter di depan Taman Pintar. Awalnya, semua tampak damai, sampai akhirnya masuklah segerombolan orang bertindik di mana – mana (kuping, hidung, bibir, udel juga kali), rambut dan baju yang kelihatan dekil, dan sumpah bau. Yep, anak punk. Ada beberapa cowok dan dua cewek yang tiba – tiba memenuhi halte. Dan sepertinya mereka bakal jadi parfum di bus sepanjang perjalanan karena rute mereka dengan arah kami pulang sama. Bus datang dan aku langsung melompat ke dalam, mencari tempat duduk buat aku dan Muti. Di sini kesalahannya, harusnya aku ngebiarin mereka duduk. Karena baru aku sadari mereka bakal berdiri kalau kursi penuh, dan this is it... salah satu dari mereka yang kupingnya berlobang gede banget berdiri tepat di depanku dengan perut yang segede hoohaa dan ketek bau kingkong, menebar aroma kematian ke seluruh penjuru bus. Pemberhentian berikutnya beberapa orang di kursi turun, dan aku segera minta si perut hoohaa duduk di kursiku dan aku pindah duduk di depannya. Thanks for saving me from hell, God. Aku pikir semua akan segera berakhir. Akhirnya aku tahu cobaan belum berakhir setelah salah seorang dari mereka menanyaiku.
”Mbak, asli mana?”
berharap ini tidak berlanjut aku bilang, ”Palembang,” dan berhasil. Si penanya diam, sampai tiba – tiba seseorang di sampingku mulai bersuara, ”Plembang Yu? Wong kito galok?Blablablebbleb...,”
Dan habislah Dianti! Anak punk di sebelahku ternyata orang Palembang dan terus aja ngoceh dalam bahasa ibu-nya yang sama sekali nggak ku pahami, lah aku kan Cuma ngaku – ngaku, wong aku asli Jowo-Madura.
Di salah satu pemberhentian deket UNY, mereka turun... Saya berjanji tidak akan menggunakan jurus seperti itu lagi, kapok ketauan bo'ong.

The last thing
Sebelum balik ke negeriku tercinta, aku memutuskan mampir dulu ke Solo, pengennya sih bertemu kawan di sana. Dari stasiun Tugu, aku beli tiket komuter yang orang - orang sebut PRAMEX!! Aku datang kesiangan, karena Pramex pertama udah berangkat beberapa puluh menit sebelumnya dan kesiangan juga, karena Pramex berikutnya baru berangkat setengah 9. Karena masih satu setengah jam, aku dan Puta duduk - duduk di peron stasiun, ngobrol ngalor ngidul sampai akhirnya muncul komuter dengan warna kuning dan aku bilang sama Puta, "Ta, komuternya imut ya. Ini Pramex bukan sih?"
"Bukan, ini kan Prambanan Ekspress, kereta kamu belom dateng,"
dan obrolan pun berlanjut kemana - mana sampai pada gagasan memberi Puta pengalaman naik kereta api, karena, menurut pengakuan dia sendiri, dia belum pernah naik kereta. Pitty...
Kereta kuning itu berhenti cukup lama di salah satu jalur di depan kamu, dan berangkat tepat pukul setengah sembilan. Tanpa rasa curiga aku memandangi kereta itu bergerak pergi meninggalkan stasiun.
Kami baru menyadari ada yang aneh setelah dua jam menunggu keretaku belum datang juga. Tiba - tiba seperti ada komet yang lewat di kepalaku, "Puta, jangan bilang, Pramex means Prambanan Express...," muka Puta langsung berubah aneh, serasa disadarkan dari kesotoyan...

Oke, setelah menyadari aku membiarkan keretaku pergi tanpa kunaiki, aku membeli tiket lagi sehingga tiket perjalanan pulangku dua kali lebih mahal dari niat suci berhemat yang telah direncanakan...

I can make an easy thing become complicated, this is me...