Jumat, 19 Juni 2015

Kalau kata Sujiwo Tedjo, aku ini utang rasa, sama mbah2 sepuh yang jual nasi pecel di deket kos.

Puasa tahun lalu, beliau meletakkan racikan pecelnya: sayur rebus, mie, kering tempe, sambal, dan kerupuk di tempat seadanya. Sebutlah jorok, karena memang begitu. Rebusan sayurnya biasanya tanpa sengaja ada ekstrak rambut sehelai di antaranya. Hecinya tak berbentuk, malah wujudnya mirip adonan tepung dipaksa masuk penggorengan. Tapi jangan salah, rasanya enak. Peyeknya hancur, tapi enak juga. Aku yakin dulu dia jago soal masak - memasak.

Duduk diam menanti pembeli sambil ngantuk - ngantuk. Fisiknya sendiri sudah kelihatan nggak capable buat gerak cepat. Perawakan beliau kecil, agak membungkuk, dan wajahnya kuyu. Aku yakin pembeli yang ke situ, kalau nggak malas jalan jauh ke warung lain, ya iba sama beliau. Aku golongan yang disebut belakangan, dengan beberapa persen faktor yang disebut pertama.

"Beli apa, Dik?" sapanya dengan suara berat, sambil tangannya meraih kertas minyak, saking tidak fleksibelnya, kertasnya lecek. Kadang diambilnya sambil dibumbui sapuan tangan ke lidah dahulu. Megang sendoknya kaku. Nggak jarang lauknya kececeran. Karena tangannya gemetaran. Beliau menyendok racikan pecel satu demi satu dengan susah payah. Wah, luar biasa rasanya, haru biru kalau nonton effort-nya. Sementara yang mengantri di belakang dengan penuh sabar menunggu Si Mbah menyelesaikan tugasnya. Bagus kan, buat melatih kesabaran.

"Berapa Mbah Ti?"
Beliau diam sejenak. Lalu menyebut nominal yang nggak masuk akal murahnya. Surabaya hari gini, dia jual nasi pecelnya Rp 3,500,00. Sudah isi heci sama peyrk. Kalau aku paksa - paksain beli peyeknya seplastik pun, atau upgrade lauk ke telur kecap, paling banter Rp 5,000,00. Wah, ini alasan ketiga orang mau beli di warung beliau, murah...

Dua kali, beliau pernah spontan cerita. Kalau anaknya kerja di Sumatra, lalu satunya di Telkom. Aku nggak menduga - duga namun sepertinya, beliau tetap jualan karena memang itu sudah pekerjaannya sejak lama. Aku positive thinking pasti anaknya menafkahi beliau juga. Aku nggak tahu sudah sejak kapan. Namun, puasa tahun ini, warungnya sudah dikelola salah satu anaknya.

"Monggo," Si Mbah tetap di situ kok, menunggui tanpa sedikitpun mengganggu anaknya melayani pelanggan. Nggak power syndrome deh bahasa ribetnya. Si Ibu, anak Si Mbah, ramah wajahnya, jualan dengan lebih set set settt, bersih, dan dengan servis yang upgrade begini, sudah tentu harganya bersaing dengan warung - warung lain.

Ada rasa nyess, setiap ingat Si Mbah dulu. Figurnya waktu jualan, waktu menumpahkan racikan, waktu mengambil kertas. Sepuh begitu masih ikhtiar kepada Tuhan, ikrar cari nafkah tanpa ngemis. Yang muda begini kalau letoy ya perlu dijambak ya.

Overall matur suwun Mbah. Semoga panjang umur. Si Mbah sudah mengajari aku arti ngeyel yang sebenarnya. Moga berkah, disayang Allah hidup saat ini dan hidup berikutnya.