Sabtu, 29 Maret 2014

Kalau duniamu yang sekarang berhenti menawarkanmu kebahagiaan, mana mungkin kamu tidak pergi, eh?
Ibaratnya kamu diijinkan tinggal di dalam rumah setelah bertahun menggelandang di jalanan. Namun di dalam rumah itu kamu disiksa, tidak dipedulikan, diperas tenaganya... Siapa yang mau hidup begitu?

Siapapun yang masuk ke rumah itu, pasti membawa segudang mimpi dan harapan untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Lihatlah pilar-pilar itu kokoh berdiri dengan angkuhnya. Menawarkan perlindungan dan diwaktu yang sama mengancam siapapun yang tidak bernaung di bawahnya. Siapa yang tidak gemetar mendengar nama besarnya. Seluruh negara tahu siapa dia.

Kami pun begitu, dengan polosnya menerobos masuk. Bangga menyaksikan keadaan luar dari balik jendela sambil berkata, "Saya sudah aman sekarang."
Dijamu dengan jaminan keamanan dan janji kesejahteraan di sana sini, kami mengabdi dengan tulus. Hanya untuk membuat kami tetap diterima dengan ramah di ruang-ruangnya.

Dan tahukah kamu keramah-tamahan adalah bentuk kebohongan terbesar. Ketulusan adalah wujud keramahan yang sesungguhnya. Maka jangan pernah percaya pada mulut manis yang menawarkan dunia bertabur bintang. Jika sungguh bintang yang cahayanya indah di atas kepalamu itu terjun ke bumi, wujudnya akan menjadi mengerikan, dan, meluluhlantakan tanah tempatmu berpijak. Apa yang kamu yakini sebagai cahaya sebenarnya adalah batu yang setara luasnya dengan satu kecamatan di Surabaya.

Nilai keyakinan tidak pernah hakiki. Yang kita yakini benar tadi pagi, bisa menjadi salah beberapa saat nanti. Begitu juga sebaliknya. Seperti halnya sekarang, aku sudah tidak lagi mempercayakan keamanan diriku kepada rumah itu. Aku pamit ya...


Kamis, 13 Maret 2014


"Kamu dulu kuliah apa, Dianti?" tanya klien saya, Pak Candra kepada saya suatu pagi ketika beliau berkunjung ke kantor.
"HI, Pak."
"Kok bisa kamu kerja di properti? Apa rencanamu dulu begitu?"
"Nggak, Pak. Saya sih maunya S2."

Beliau bersandar, lalu melanjutkan,"Mau ke mana setelah S2? Kemenlu?"
"Sampai sekarang saya nggak kepikiran Kemenlu, Pak. Saya lebih berminat organisasi internasional sih."
"Kenapa?"
Saya mulai berpikir sedang diwawancarai Najwa Sihab, "Jadi begini, Pak," saya melanjutkan "Saya percaya nantinya saya akan menikah. Sampai sekarang saya mengkhawatirkan diri saya telat menikah karena mengejar karir. Kalau saya kerja di Jakarta sih nggak masalah, Pak. Nah, kalau saya ditugaskan ke kedutaan atau konjen, beda cerita."
"Kalau kamu di organisasi, nasibmu akan sama to,"
"Paling tidak saya tidak terikat urusan protokoler."
"Begitu ya," katanya sambil mengusap wajah.

"Orang berpikir untuk tidak membuang waktu sewaktu muda. Tapi orang menerjemahkan kalimat itu hanya perihal karir saja. Saya pikir itu nggak bijak, Dianti. Jadi betul, seharusnya orang memanfaatkan waktu sebaik - baiknya dengan tidak membuang - buang waktu yang lain. Mereka pikir akan selalu bahagia kalau karirnya mapan. Belum tentu," beliau melanjutkan, "Itu hanya satu hal saja dalam hidup. Wanita banyak mengejar karir sekarang. Tapi lagi - lagi yang paling penting itu bahagia dulu. Orang sepertimu itu pasti berambisi. Itu bagus. Tapi bagi saya pribadi, wanita kalau sudah punya visi karir yang baik, umumnya egois."
"Betul," jawab saya tanpa menyanggah.

"Keponakan saya, kerja di Cina. Hebat, pikir saya. Lima tahun kemudian dia pulang ke Indonesia. Lima tahun, beli properti di Cina saja dia tidak sanggup. Bagi saya itu buang waktu. Ujung - ujungnya pulang,"
Saya tersenyum sambil terus menyimaknya. "Lima tahun itu, berarti dia kehilangan kesempatan lebih dekat dengan orang tuanya. Di sana dia pegawai sebuah perusahaan besar. Tapi ya pegawai. Pegawai! Apa tidak lebih baik dia jadi owner di perusahaan keluarga? Betul memang perusahaan keluarganya tidak terkenal, tapi lima tahun itu dia menggaji sekian ratus orang dan mengembangkan bisnis. Kita tidak pernah tahu lima tahun itu akan diganjar apa oleh Tuhan. Bisa jadi perusahaan keluarganya bisa lebih hebat dalam lima tahun. Apa itu buang waktu?"
Saya menggelengkan kepala.
"Papanya bilang pada saya, umur sudah makin tua, anak sudah besar - besar. Tapi mau ketemu saja susahnya setengah mati. Kasihan ya,"

Beliau melanjutkan lagi, "Saya tidak tahu istri saya bahagia atau tidak. Saya tidak pernah tanya. Tapi saya pikir dia bahagia. Kasihan sih dia, sekarang jd benar - benar bodoh, baca koran saja tidak sempat. Dia yang memilih jadi ibu rumah tangga, saya sama sekali tidak paksa dia. Dia berhenti jadi notaris. Dia merawat anak - anak sejak bayi sampai sekarang. Anak saya keduanya perempuan, dia yang antar jemput dan mengurus keperluannya. Kami juga tidak punya pembantu, dia yang merawat rumah. Saya tidak pernah diprotes selama ini. Tapi 18 tahun, sekalipun dia tidak pernah bicara soal keinginanya berkarir. Dia sudah memilih."

"Jadi, pilihlah mana yang menurutmu baik, bagimu dan bagi orang sekitarmu."

Semua tentang pilihan...